Cerita Jihan Fairuz, Mengikuti Asia Kakehashi Program (2): Film Pun Disulih ke Bahasa Jepang

Cerita Jihan Fairuz, Mengikuti Asia Kakehashi Program (2): Film Pun Disulih ke Bahasa Jepang

Selama mengikuti program pertukaran pelajar di Jepang, Jihan Fairuz, melihat banyak perbedaan pola pengajaran dengan Indonesia. Antara lain mata pelajaran (mapel) di sana lebih sedikit. Hanya setengah dari mapel yang diajarkan di SMAN 1 Samarinda.   

Devi Alamsyah, Samarinda PELAJAR di Jepang ternyata cenderung lebih pemalu. Termasuk dalam berbicara bahasa Inggris. Setidaknya itu pengamatan Jihan Fairuz, siswi SMAN 1 Samarinda yang ikut pertukaran pelajar Asia Kakehashi Program 2021-2022 di Akita, Jepang, selama 5 bulan terakhir ini. Tak hanya siswa, pun begitu dengan gurunya. Kecuali guru bahasa Inggris, tentunya. Jihan punya pengalaman menggelitik soal bahasa. Ketika ia baru pertama kali masuk sekolah Yokote Seiryo Gakuin di Provinsi Akita. Saat masuk kelas matematika, sang guru mencoba menggunakan google translate untuk berkomunikasi dengan siswanya. Ya, mungkin saja antara lain karena ada Jihan. Namun, guru itu malah mistranslate. Yang keluar malah: “let’s get revenge together”. Satu kelas pun bingung, maksudnya apa. Ternyata, kata Jihan, si guru itu mau bilang “let’s study together”. “Jadi mungkin orang Indonesia lebih ‘terbiasa’ dengan bahasa Inggris,” kata Jihan Fairuz. Anda pernah menonton siaran JTV. Yang semuanya menggunakan Bahasa Jawa--khas Jawa Timuran. Banyak film-film luar negeri yang disulih suara ke Bahasa Jawa. Kalau tak terbiasa dengarnya, jadinya lucu. Aktor beken Tiongkok, Andi Lau misalnya, bisa ngomong—maaf kata-  “Juancuuk”. Itu terjadi di Jepang. Menurut Jihan, setiap film luar negeri, kebanyakan selalu di-dubbing ke Bahasa Jepang. Termasuk judul film-nya. Padahal kalau di kita, kecuali JTV tadi, film-film berbahasa Inggris masih tetap menggunakan Bahasa Inggris. Paling banter dibuat keterangan teks di bawahnya. “Contohnya mungkin kayak anak-anak di Indonesia kalau nyanyi lagu Frozen pasti pakai Bahasa Inggris, kalau di sini mereka nyanyi pakai Bahasa Jepang,” katanya. Berita Terkait: Cerita Jihan Fairuz Mengikuti Asia Kakehashi Program (1) Bagaimana dengan pola pengajarannya? Ternyata Jihan Fairuz mampu cukup detail menceritakan perbedaan pola pengajaran di Jepang dengan di Indonesia. Setidaknya ada 7 poin perbedaan yang menjadi catatan Jihan. Berikut ini:
  1. Satu sekolah 3 jurusan
Kalau di kita lazimnya jurusan di SLTA itu ada IPA dan IPS. Tapi di Yokote Seiryo Gakuin, Akita, jurusan terbagi atas Technical Course dan General Course. Nah, General Course terbagi dua lagi: science sama social class: IPA dan IPS di Indonesia. Jadinya tiga jurusan: science, social class dan technical. Mata pelajaran apa yang diajarkan untuk kelas Technical Course? Jihan Fairuz tidak tahu nama mata pelajarannya. Tapi, ia pernah mengikuti kelas itu. Ia diajarkan penggunaan aplikasi desain 3D. Kalau di Indonesia seperti pelajaran di sekolah kejuruan; STM atau SMK. “Saya lihat mereka ada buat puzzle. Puzzlenya di design pakai aplikasi 3D terus diprint pakai 3D printer”. “Mereka juga bikin kayak rangka-rangka bangunan gitu pakai kayu”. Bahkan, katanya, untuk jurusan Technical Course ini ada ekstra kurikulernya. Namanya Mechatronic Club. Dan klub ekskul itu sudah membuat eco car, mobil ramah lingkungan. Sayangnya Jihan belum tahu eco car seperti apa yang dibuat klub siswa itu. Apa model mobil listrik atau menggunakan energi lainnya. Atau hybrid. Setiap angkatan, kata dia, ada 4 kelas. Dua kelas Technical Course dan dua General Coures. Dalam 1 kelas general dibagi jadi siswa IPA dan IPS. Di kelas Jihan, siswa IPA ada 9 orang dari 38 siswa. “Bedanya, sekolah di Indonesia selalu nekankan kelas IPS harus selalu lebih sedikit. Tapi di sini kelas IPA, bahkan anaknya 1 angkatan enggak sampai 30 orang,” jelasnya. Bagaimana dengan jurusan teknik? Siswanya makin sedikit. Satu kelas hanya 3-4 orang saja.
  1. Sistem moving class
Di Yokote ruang kelas itu disebut homeroom. Seperti Jihan di SMAN 1 Samarinda ruang kelasnya atau homeroom-nya: XII MIPA 2. Bedanya, tidak semua mata pelajaran diajarkan di ruang kelas tersebut. Tiap mapel bakal pindah sesuai kelasnya masing-masing. Misalnya saja, jika kelas pelajara kimia dan fisika, ruang kelasnya di labolatorium. Terkadang untuk mata pelajaran tertentu siswa kelas IPA 1 dan IPA 2 belajarnya digabung. Mungkin mirip seperti perkuliahan di kampus. Ruang kelas tergantung mata kuliah. Kadang tidak semua mahasiswa mengambil mata kuliah yang sama. Kendati masih satu angkatan.
  1. Mapelnya cuma setengah dari mapel di Indonesia
Mata pelajaranya berkisar 8-9 saja. Dan untuk anak jurusan IPA mereka bisa memilih mau ambil kelas biologi atau fisika. Jadi tidak perlu ambil dua-duanya. Menurut catatan Jihan, di Indonesia untuk kelas 12 terdapat 14 mata pelajaran.
  1. Jadwal mapel enggak pernah double.
Contohnya di Indonesia jadwalnya seperti ini: Matematika Matematika Bk Fisika Fisika Fisika Kalau di Jepang: Geografi Penjas Matematika Bahasa Inggris “Jadi enggak ada 1 mapel pun yang double. Ada 2 matematika, minat dan wajib. Tapi dua mapel ini enggak ditaruh berdekatan, pasti diselingi mapel lain,” terang Jihan.
  1. 50 10
Maksudnya angka tersebut, kata Jihan Fairuz, tiap 50 menit jam mata pelajaran, diselingi istirahat 10 menit. Istirahat makan siangnya itu 40 menit. Rata-rata siswa makan 15-20 menit. Sisanya mereka buat waktu sikat gigi dan ngobrol. Sikat gigi? “Awalnya saya kaget karena mereka semua sikat gigi di sekolah tiap habis makan,” jelasnya.
  1. Quiz harian
Tiap pagi mereka ada quiz 5-10 menit. Mapelnya ganti-ganti tiap hari. Kemudian ada homeroom time selama 30 menit. Biasanya mereka dibagikan kertas soal, setelah itu dikumpulkan lagi. Misalnya soal matematika yang baru diajarkan kemarin, besok paginya dites lagi melalui quiz harian. Pun hafalan kosa kata bahasa Inggris, itu direview lagi materi sebelumnya. “Kalau bahasa Inggris biasanya dikasih kosa kata, entar mereka harus pasangkan ke bahasa Jepangnya gitu'.
  1. Siswa ngerjain soal sendiri
Paling terasa itu di kelas Matematika. Menurut Jihan Fairuz, gurunya menjelaskan dan setelah itu siswanya disuruh mengerjakan tugas. Dan hebatnya, kata Jihan, para siswa benar-benar berusaha mengerjakan sendiri. Tidak ada satu pun yang tidak mengerjakan tugas. Setelah itu, gurunya memilih siapa yang bakal mengerjakan soal ke depan. Dan sejauh pengamatan Jihan, tidak ada satu siswa pun yang enggak bisa ketika disuruh ke depan. Memangnya di Indonesia tidak mengerjakan soal sendiri ya? Jihan mengakui ketika di sekolahnya di Samarinda, jika soalnya susah, tidak terlalu harus bersusah-payah untuk mengerjakan. Tunggu saja dulu guru menjelaskan di depan. Karena toh cuma contoh, tidak dinilai. Dan itu tidak hanya Jihan, banyak siswa yang melakukan hal serupa. Tapi di Jepang, diakui Jihan siswanya sangat disiplin. Soal apa pun itu. Mau dinilai atau tidak, mereka akan mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: