Cerita Jihan Fairuz Mengikuti Asia Kakehashi Program (1): Sekolah di Jepang Masih Tatap Muka 

Cerita Jihan Fairuz Mengikuti Asia Kakehashi Program (1): Sekolah di Jepang Masih Tatap Muka 

Ini cerita Jihan Fairuz—siswi SMA Negeri 1 Samarinda yang mengikuti program pertukaran pelajar di Jepang: Asia Kakehashi Program 2021-2022. Di Negeri Sakura tersebut selama pandemi ini, proses belajar mengajar tetap dilakukan secara tatap muka. Bagaimana ceritanya?

Devi Alamsyah, Samarinda JIHAN Fairuz selalu aktif membalas chat. Meski terkadang jam-jaman: Kadang responnya cepat sekali. Kadang menunggu lama. Atau keesokan harinya jika chat penulis sudah terlalu malam. Jihan adalah putri kedua dari empat bersaudara pasangan Rosihan Ekasaputra dan Nadia Shahab. Ia lahir di Medan, 23 April 2004. Di Samarinda domisilinya di Jl AW Syahrani. Ia pun berhasil lolos mengikuti program pertukaran pelajar Asia Kakehashi Program 2021-2022 di Akita, Jepang. Dapat dipahami karena pagi hingga sore Jihan sibuk sekolah. Perbedaan waktu Samarinda (Kalimantan Timur) dan Prefektur Akita, Jepang, tempat Jihan tinggal, selisih 1 jam. Lebih lambat. Prefektur adalah istilah untuk nama provinsi. Jam sekolah di Jepang mulai pukul 08.15 hingga 15.45. Itu belum termasuk pelajaran tambahan (ekstra kurikuler). “Kalau eskul beda-beda, ada yang selesainya jam 8 malam,” kata Jihan. Apalagi rumah orang tua asuh Jihan selama mengikuti Asia Kakehashi Program ini, lumayan jauh dari lokasi sekolah. Beda kota. Sekolahnya di Kota Yokote dan Jihan tinggal di Kota Omagari. Tapi masih sama-sama di Provinsi Akita. Unggulnya di Jepang, sarana transportasinya memadai. Jihan harus naik kereta selama 20 menit, kemudian dilanjut bus berkisar 6-10 menit. Jadi, sekitar setengah jam untuk sampai di sekolah. Nama sekolahnya Yokote Seiryo Gakuin. Dari awal memang sudah ditetapkan host family untuk Asia Kakehashi Program ini. Sebelumnya, Ia tinggal di Yokote selama 2 bulan. Kemudian di Omagari selama 4 bulan. Mulai Oktober 2021. Program Asia Kakehashi ini berlangsung selama 6 bulan. Nah, ketika tinggal di Yokote, Jihan cukup mengendarai sepeda untuk berangkat sekolah. Jarak tempuhnya sekitar 25 menit sampai sekolah Yokote Seiryo Gakuin. Prefektur Akita terkenal dengan anjing Akita dan produksi sake. Dan tempat Jihan tinggal di Yokote adalah salah satu wilayah di Jepang yang memiliki musim dingin ekstrem. “Tinggi salju di sini bisa mencapai 3 meter. Karena musim dingin yang ekstrem ini juga saya dapat mengalami berbagai macam pengalaman baru. Mulai dari terlambat sekolah gara-gara salju hingga jalan kaki ke sekolah saat sedang badai salju,” katanya kepada Harian Disway Kaltim-Kaltara. Sekolahnya berada di kaki pegunungan dan dilewati sungai. Saat musim gugur pemandangannya sangat indah. Bahkan ada satu musim dimana beruang jalan dan keluar mencari makan. “Pastinya sekolah ini juga punya seragam khas Jepang yang kece abis,” katanya.   Menurutnya, jurusan sekolah di Jepang dilengkapi dengan kelas science, sosial, dan teknik. Ekstrakulikulernya juga beragam. “Kalau ngelihat teman-teman lagi ekskul rasanya kayak lagi ngelihat ekskul-ekskul di anime. Pastinya hari-hari seru karena siswa-siswi dan guru-gurunya”. Sulit enggak beradaptasinya? “Menurut saya sih enggak sulit. Mereka sebenarnya friendly, Cuma harus ada effort lebih untuk mulai percakapan duluan”. Kebanyakan, siswa di Jepang pemalu. Itu awalnya saja. Tapi jika sudah berteman, kata Jihan, mereka terbuka dan easy going. Ia menceritakan ketika pertama masuk sekolah. Dibuatlah welcome seremony untuk perkenalan kepada para guru dan siswa seluruh angkatan 1,2 dan 3. Kemudian diperkenalkan ke tiap-tiap kelas per mata pelajaran (maple). “Saya ingat banget hari pertama itu seru banget dan ada beberapa kejadian lucu”. Untung saja ada juga siswa pertukaran pelajar dari Thailand. Yang sudah lebih dulu tinggal di Jepang. Jihan merasa sangat terbantu utamanya dalam pergaulan dan membuka komunikasi dengan teman-teman barunya di Yokote. TATAP MUKA Selama pandemi COVID-19 ini, sekolah di Jepang tetap menggelar sekolah tatap muka. Hanya saja, pihak sekolah menerapkan protokol kesehatan yang ketat: Ada cek suhu tubuh dan kontrol kadar CO2 di dalam ruangan kelas. Ada alat pengontrolnya. Jika alat kontrolnya bunyi dan berwarna merah, maka harus segera buka jendela sama pintu ruangan kelas. Itu selama 3-5 menit. “Itu kelasnya benar-benar jadi dingin banget, karena suhu di luar ruangan udah minus”. Sepengetahuannya, tak ada pembatasan sosial di sekolah. Pembatasan sosial dilakukan hanya di mal atau pusat-pusat perbelanjaan. Selebihnya normal saja. Hanya tetap harus menggunakan masker, cek suhu dan memperhatikan sanitasi tangan. “Kebetulan juga prefektur ini (Akita) kasusnya rendah di banding prefektur lainnya,” terang Jihan. Di restoran atau tempat-tempat makan di mal tersebut sudah tidak diterapkan penjarakan tempat duduk. Semua seperti biasa. Nah, kecuali jika ada event di lobi utamanya masih diterapkan social distancing. Terutama untuk tempat duduknya. Di Jepang memang terjadi lonjakan utamanya di kota-kota besar seperti Tokyo. Kalau di Prefektur Akita, kasusnya rata-rata 200 kasus per hari. Itu satu provinsi. Bagaimana jika ada siswa yang teridentifikasi positif COVID, apa pernah terjadi selama Asia Kakehashi Program? Dan apa sekolah diliburkan? “Ada kak, jadi sekolah bakal diliburkan sementara waktu. Cuma siswa bakal dikasih tugas dan lain-lainnya. Saya kurang tau apa saja yang mereka kerjakan, karena saya enggak dikasih tugas,” selorohnya. Namun, jika ada satu orang yang teridentifikasi positif COVID, satu sekolah bakal dites semuanya. Artinya ketika ditemukan kasus tersebut, baru dilakukan tracing dan tracking pada orang-orang yang berpotensi. Jadi proses tracing dan tracking tidak dilakukan sembarangan dan random. Namun ada alat kontrol dan prokesnya tetap dilakukan. (*/Bersambung 2) Berita Sambungan: Cerita Jihan Fairuz Mengikuti Asia Kakehashi Program (2)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: