Ikhtiar Hulu Migas Mengurangi Emisi Karbon

Ikhtiar Hulu Migas Mengurangi Emisi Karbon

Tak dapat dipungkiri jika kegiatan usaha di sektor hulu migas berdampak terhadap emisi karbon. Akan tetapi, sejak awal industri ini telah melakukan berbagai tindakan pencegahan, sekaligus pelestarian lingkungan. Nomorsatukaltim.com - Gaung nol emisi karbon sudah menjadi isu dunia. Perusahaan minyak dan gas sendiri bahkan mulai berinvestasi di energi energi baru terbarukan. Sebagai transisi energi dalam menjalankan operasional yang lebih ramah lingkungan. Di Indonesia pengembangan energi hijau juga sudah dilakukan. Sementara dalam sisi hulu migas upaya mengurangi emisi juga diterapkan sejak awal. Tenaga Ahli Lingkungan Kepala SKK Migas, Luki A Yusgiantoro menjelaskan upaya mengurangi korban sudah diterapkan mulai tahap desain, Eksplorasi, Pengembangan (Plan of Development/PoD), Produksi, hingga tahap akhir operasi produksi (end of life). “Dari mulai kegiatan tersebut kami sudah memikirkan dampak terhadap lingkungannya dan selalu berupaya menjaga lingkungan,” jelas Luki A Yusgiantoro, dalam webinar bertajuk “Upaya KKKS Mengurangi Emisi Karbon”, Kamis, 17 Juni 2021. Langkah ini selaras dengan tantangan memenuhi target lifting minyak sebesar 1 juta BOPD dan gas sebesar 12 BSCFD pada 2030 mendatang. Kecenderungan kegiatan eksplorasi saat ini mengarah ke laut dalam di wilayah Indonesia bagian timur. Karena itu iklim menjadi penting bagi eksplorasi di laut dalam. Sebab, perubahan iklim akan menyebabkan ketidakpastian terhadap cuaca. Yang tentu saja akan berdampak pada kelancaran operasi. “Saya dulu melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap proyek-proyek hulu migas, ketika hal tersebut, kita juga harus mengantisipasi cuaca iklim yang buruk, sehingga dapat proyek tersebut dapat terselesaikan,” ungkap Luky. Keputusan ini menjadi sangat penting dalam menjalankan kegiatan di hulu migas. Tidak hanya menjaga keselamatan akan tetapi juga kesehatan, perlindungan lingkungan dari setiap tahapan awal. “Awal mulai mendesain fasilitas sampai akhir decommissioning, KKKS bisa dianggap telah melakukan pengurangan karbon. Jadi di masing-masing tahapan seperti Environmental Baseline Assessment (EBA), kemudian di masa eksplorasi juga ada risk profile awal dalam menentukan potensi-potensi apa yang akan terjadi pada saat kegiatan eksplorasi tersebut,” terang Luky. Mengawali Plan of Development (PoD), kata dia, ada kegiatan Environmental Impact Assessment. Kemudian selama PoD dan selama kegiatan ini dilakukan Monitoring Environmental Impact. Hal sama dilakukan selama kegiatan produksi. Kemudian, sebelum dilakukannya End of Life dilakukan Partial Relinquishment, Final Environmental Assessment, dan juga selama relinquishment juga dilakukan decommissioning dari fasilitas hulu migas. “Di dalam kontrak kerja sama KKKS mewajibkan untuk standar Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Perlindungan Lingkungan (K3LL). Sehingga KKKS dalam hal ini bertanggung jawab dalam penerapan kaidah-kaidah keselamatan kerja dan lindungan lingkungan di seluruh kegiatan operasi migas,” terang Luky. Lalu, para KKKS juga diwajibkan mematuhi dan melaksanakan seluruh peraturan keselamatan kerja dan lindungan lingkungan. Kemudian, menerapkan dan bertanggung jawab terhadap seluruh ketentuan pada kontrak kerja sama. Serta, melakukan pengukuran peningkatan kinerja pengelolaan K3LL yang berkelanjutan. “Paradigma yang sekarang berbeda. Kalau yang dulu itu ekonominya lebih ke arah linear ekonomi, sekarang lebih ke arah sirkular ekonomi. Kalau linear ekonomi itu lebih banyak bagaimana kita memproduksikan, memanfaatkan kemudian jadilah limbah, dan kita tidak terlalu peduli limbah itu ke mana. Akan tetapi di tahap sirkular ekonomi yang sekarang, SKK Migas berupaya bagaimana meminimalisir limbah dan dapat memanfaatkannya untuk pemanfaatan selanjutnya,” tuturnya. “Ketika kita lihat life cycle kegiatan hulu migas saat ini fokus kepada kegiatan decommissioning. Bagaimana memanfaatkan platform-platform yang sudah tidak aktif agar dimanfaatkan untuk kegiatan lainnya. Tidak hanya di sektor hulu migas saja, melainkan di sektor lainnya,” sambungnya.

Potensi Sumber Emisi Karbon dan Upaya Menguranginya

SKK Migas telah melakukan identifikasi terhadap kegiatan apa saja yang menghasilkan emisi dari karbon tersebut. Pertama di kegiatan operasi tahap produksi. Di mana turbin, boiler, generator, dan lainnya, berpotensi menyebabkan emisi. Selanjutnya, dalam kegiatan transportasi. Yakni ketika melakukan kegiatan menggunakan mobil, truk, kapal, helikopter, juga mengeluarkan emisi. “Emisi karbon yang dikeluarkan dari kegiatan KKKS tersebut, kita lakukan identifikasi selama flaring, drilling, operasi, emergency itu tentunya juga akan menyebabkan emisi CO2. Dari identifikasi ini apa yang bisa kita efisienkan mana yang bisa kita optimalkan,” jelas Luky. Selanjutnya dalam melakukan pengurangan emisi karbon pada kegiatan hulu migas, SKK Migas juga melakukan identifikasi menggunakan tiga kategori. Yaitu dengan menggunakan Tier 1, Tier 2, Tier 3. Hal itu berdasarkan capital investment yang dilakukan oleh badan usaha hulu migas. Ia mencontohkan, di Tier 1 yakni KKKS melakukan rehabilitasi Daerah Aliaran Sungai (DAS). Kemudian, juga ada revegetasi penanaman mangrove atau penghijauan kembali. Di mana kegiatan ini akan dilakukan oleh 24 KKKS disepanjang 2021 dengan menanamkan sebanyak 6 juta bibit mangrove. Sementara, Tier 2, meminimaliskan gas flare dan mengefisienkan proses kegiatan hulu migas khususnya di fasilitas yakni mengefisienkan energi, kemudian waste to recovery, untuk memanfaatkan panas yang tadinya terbuang. “Selain itu, dalam Tier 2 ini, SKK Migas akan memanfaatkan penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN) untuk transportasi dan logistik, serta fasilitas di hulu migas,” katanya. Meski demikian, ia mengatakan, ada beberapa fasilitas yang tidak dapat menggunakan BBN karena sifatnya yang sangat penting. SKK Migas sudah mengidentifikasi fasilitas-fasilitas mana saja yang kiranya tidak dapat menggunakan BBN. Kemudian pada Tier 3, capital investment-nya cukup tinggi salah satu contohnya yakni teknologi Carbon, Capture, Utilization and Storage (CCUS). “Di mana saat ini sedang dilakukan studi terkait teknologi CCUS di Lapangan Gundih, Tangguh dan beberapa KKKS lainnya,” paparnya. Selain itu, guna menurunkan emisi karbon tersebut, para KKKS juga melakukan pamanfaatan energi terbarukan. Yakni memasang solar panel di fasilitas produksi yang berada di laut. “Pada 2014, ketika mengunjungi lapangan di JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi, mereka sudah menggunakan solar panel dan ini menjadi tren untuk menggunakan solar panel di platform offshore. Memanfaatkan energi yang gratis ini (matahari) untuk energi yang dibutuhkan di dalam memproduksi migas,” terang Luky. Tak hanya itu, para KKKS juga telah melakukan pemanfaatan gas ikutan (associated gas) yang sudah dilakukan saat ini di Pertamina EP, Premier Oil, dengan melakukan rerouting dan optimasi flare gas. Hal itu bisa memaksimalkan flare gas yang tadinya 0,8 MMCFD itu hanya menjadi 0,15 MMCFD. “Kegiatan CCUS yang dilakukan oleh Pertamina EP Gundih, dan akan terus dilakukan bekerjasama degan JICA dan stakeholders Jepang,” imbuhnya. Lebih jauh, ia mengatakan, dalam melakukan pelaksanaan konservasi energi di sektor migas tentunya membutuhkan biaya investasi yang relatif besar. Kemudian, belum adanya insentif atau kemudahan diperolehnya carbon credit atas pengurangan emisi. “Selanjutnya, kendala dalam melakukan pelaksanaan konservasi energi di sektor migas yakni berada di remote area. Lalu perlunya desain dan engineering tambahan di luar kegiatan utama produksi, serta penyerapan dan utilisasi gas dalam negeri yang berlimpah yang bisa dimanfaatkan sebagai upaya dalam bertransisi energi,” tutup Luky.

Kembangkan Battery Energy Storage System

Isu pengurangan emisi karbon menjadi perhatian Pertamina Hulu Mahakam (PHM). Sebagai salah satu Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang bergerak di hulu migas, PHM berkomitmen melakukan upaya-upaya inisiatif pengurangan emosi karbon dengan memasukkannya dalam setiap kebijakan HSSE Policy. General Manager PHM Agus Amperianto menyebut PHM sudah menetapkan pengurangan emisi karbon atau Green House Gas Emission Reduction sebagai salah satu HSSE Objective dan menjadi bagian Key Performance Indicator (KPI), dalam bidang lingkungan. "KPI ini selalu dimonitor setiap bulan dan disampaikan pencapaiannya oleh HSSE Manager kepada pimpinan dalam pertemuan manajemen," ujar Agus, Minggu (28/11). Untuk mencapai target pengurangan emisi, kata dia, ada beberapa kegiatan yang sudah dilakukan. Baik di fasilitas produksi maupun dari kegiatan logistik PHM. Beberapa di antaranya yakni optimasi penerbangan helikopter, deaktivasi kegiatan flaring dan juga optimasi operasi turbin kompresor. Bahkan kini, penambahan emisi yang terjadi juga sudah merupakan salah satu aspek yang dihitung dalam dokumen tahap awal perencanan semua proyek-proyek baru yang akan di implementasikan di PHM. "Sehingga penambahan emisi dari proyek baru bisa diindentifikasi besarannya, di minimalisir, kemudian di proyeksikan terhadap target penurunan emisi di PHM," ungkapnya. Adapun program penghijauan Daerah Aliran Sungai (DAS) di wilayah kerja PHM, turut memberikan kontribusi terhadap upaya pengurangan emisi karbon. Di mana program ini merupakan pemenuhan kewajiban Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan atau IPPKH. Program rehab DAS di wilayah PHM, disebutnya telah dilakukan sejak 2018 dan berlanjut sampai 2026 mendatang, dengan target luasan area pada 2026 mencapai 2.118 hektare. "Kurang lebih ada 2.329.800 pohon dengan potensi penyerapan emisi karbon sekitar 223 ton per tahun," terangnya. Saat ini, capaian program rehab DAS per oktober 2021 antara lain, telah mencapai luas lahan 1017 hektare, dengan jumlah pohon yang ditanam mencapai 1.118.700 pohon. Dengan begitu, potensi penyerapan emisi karbon telah mencapai sekitar 107,08 ton. Adapun dampak ikutan lainnya yakni memberi keleluasaan bagi biodiversitas atau keberagaman hayati di kawasan kerja PHM, menjadi lebih baik. Lebih jauh, Agus menerangkan program-program lain yang terkait dengan transisi energi dengan menggerakkan inisiatif peralihan untuk pemenuhan kebutuhan listrik di 6 lapangan produksinya. PHM sudah menggunakan produksi gas lapangan sendiri untuk bahan bakar pembangkit listrik utamanya. Saat ini rasio penggunaan bahan bakar gas untuk kebutuhan listrik lapangan PHM sekitar 9 persen dari total produksi gas PHM. Selain untuk kebutuhan internal, PHM juga sudah mempunyai kerja sama dengan Independent Power Plant (IPP), untuk pembangkit listrik Kalimantan dari produksi lapangan SPS. "Ini jumlahnya sekitar 8 sampai 10 MMSCFD gas. Datanya average dari Juli hingga September, tahun ini," ungkapnya. Agus menyebut, untuk saat ini teknologi spesifik Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) sedang tidak diimplementasi di wilayah kerja PHM. Namun Ia memastikan selama tahun berjalan 2021 dan selanjutnya, PHM tetap berkomitmen menerapkan berbagai program low carbon initiatives. Seperti upaya pengalihan suplai listrik dari unit generator mandiri yang selama ini menggunakan bahan bakar gas dan diesel, menjadi suplai listrik dari PLN untuk area akomodasi dan kerja Handil II Base. "Sejak implementasinya di awal 2021, program ini telah berhasil mengurangi emisi karbon atau Green House Gas, sebesar 9.700 ton CO2 equivalent per tahun," katanya. Di samping itu, sedang ada dua program skala pilot yang sedang dijajaki PHM dalam upaya pengurangan jejak karbon, yakni Program Battery Energy Storage System. "Program itu sedang kami kaji untuk diimplementasikan di salah satu lapangan (SPU) sebagai penyedia cadangan listrik fasilitas proses, yang nantinya akan menggantikan konsumsi gas bakar dari salah satu unit pembangkit listrik turbin generator," ungkapnya. Program ini akan menjadi salah satu pilot pertama implementasi sistem penyimpanan energi pada wadah baterai, sebagai cadangan listrik skala besar di fasilitas pemrosesan hulu migas di Indonesia. "Saat ini kajian studi dan pengajuan anggaran sedang kami review bersama SKK Migas dalam program kerja WP&B 2022 (Work Program and Budget), dan implementasinya diharapkan dapat terwujud di tahun 2023-2024," urainya. Uji coba “dual” suplai bahan bakar untuk unit kapal besar atau Big Marine menggunakan LNG juga menjadi salahsatu inisiatif dari PHM. Penerapan teknologi Diesel Dual Fuel pada mesin akan mengatur penggunaan dua jenis bahan bakar, yaitu diesel dan gas. Sistem konversi itu akan memungkinkan mesin menggunakan bahan bakar gas dan solar dalam waktu yang bersamaan. "Sehingga kita dapat memperoleh penggunaan energi yang optimal. Adapun fungsi diesel hanya digunakan sebagai sumber pemantik untuk memulai pembakaran saja dan memiliki efisiensi tinggi serta daya yang tinggi," ujarnya. "Sistem pencampuran sumber bahan bakar dengan perkiraan komposisi 10 persen -60 persen dengan diesel, dan 60 persen sampai 90 persen untuk gas," imbuhnya.  (*RYN/ENY)    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: