6 Bulan Tutup, Begini Nasib PKL Tepian Mahakam

6 Bulan Tutup, Begini Nasib PKL Tepian Mahakam

Enam bulan sudah, Taman Tepian Mahakam tutup. Pandemi telah merenggut keceriaan di tepi sungai tempat pesut dulu bersemayam. Bagaimana nasib para pengadu nasib di area sempit depan Kantor Gubernur Kaltim tersebut?

DISYA HALID, AHMAD A. ARIFIN

TAMAN Tepian Mahakam telah lama menjadi ikon tidak resmi pariwisata Samarinda. Setiap malam, kerlap-kerlip cahaya dari lampion dan penerangan lapak pedagang. Riuh suara pengunjung yang ber-haha hihi hingga dini hari. Kepulan asap jagung dan kacang rebus. Deretan kendaraan di tepi Jalan Gadjah Mada. Menjadi pemandangan sehari-hari.

Pada akhir pekan, pengunjung membeludak. Tiba setelah jam 19.30, pengunjung tidak hanya sulit mencari parkiran. Tapi juga sulit mencari tempat duduk. Saking ramainya.

Taman Tepian Mahakam ramai bukan karena dikelola secara modern. Bukan pula karena promosi gencar-gencaran yang dilakukan pemerintah dan pemangku kepentingan. Semua yang berjalan di sana, terjadi secara alamiah. Sungai Mahakam benar-benar menjadi magnet besar.

Namun 6 bulan terakhir. Seluruh keriuhan itu hilang. Pemkot Samarinda terpaksa mengambil langkah tegas. Ketika pandemi COVID-19 sedang tinggi-tingginya. Taman Tepian Mahakam ditutup.

Selain PPKM Level 4, alasan lain penutupan dilakukan adalah, Pemkot Samarinda ingin mengembalikan fungsi Taman Tepian Mahakam sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH)

Lalu ke mana larinya puluhan pedagang Taman Tepian Mahakam selama penutupan? Untuk mencari jawabannya, Harian Disway Kaltim–Disway News Network (DNN) menemui langsung organisasi yang menaungi para pengadu nasib tersebut; Ikatan Pedagang Tepian Mahakam (IPTM) kemarin siang.

Untuk mendengar secara gamblang, apa yang terjadi setelah penutupan. Seberapa kesulitan yang dialami oleh pedagang, atau barangkali sebaliknya. Mereka sudah menemukan tempat yang lebih baik setengah tahun terakhir.

Ketua IPTM Hans Meiranda Ruauw menerangkan, tutupnya Taman Tepian Mahakam membuat pedagangan kehilangan sumber mata pencahariannya. Mereka memang tidak menganggur, namun rasio pendapatannya turun sampai 80 persen. Dan telah terjadi selama 6 bulan. Itu, bukan lah waktu yang pendek. Realitanya seperti itu.

“Dengan tidak berjualannya para pedagang ini, secara otomatis membuat pedagang kehilangan sumber kehidupan dan mata pencahariannya.”

“Anggap saja begini, biasanya pendapatan bisa digunakan untuk kebutuhan sehari–hari dan tabungan. Sekarang, untuk makan sehari–harinya saja ‘ngepress’ (terbatas),” keluh Hans.

Para pedagang mahfum dengan alasan penutupan. Bagaimanapun, pandemi sulit dibendung. Makanya, selama masa vakum ini. Mereka berupaya tetap bekerja.

Kira-kira, 10 persen dari mereka masih memiliki usaha cadangan. Sehingga cenderung tidak terlalu berdampak. Namun 90 persennya, hanya bergantung pada barang dagangannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: