Pengalaman Naik Angkot di 2021, Ada yang Beda?

Pengalaman Naik Angkot di 2021, Ada yang Beda?

Lagu berjudul Mendung Tanpo Udan mengalun tak henti-henti di sepanjang perjalanan angkot trayek Kampung Baru-Terminal Balikpapan Permai, kemarin.

OLEH: RYAN AMANTA

angkot

Saya mengira pengemudinya pasti orang Jawa. Tapi ternyata salah, pria muda yang duduk di sebelah kanan saya itu, berasal dari Makassar. Namun mengaku sedang menyukai tembang Jawa bergenre dangdut koplo.

Sebenarnya, jalanan aspal di sepanjang Letjen Soeprapto menuju A Yani dan berakhir di Jalan Jend. Sudirman itu mulus-mulus saja. Namun hentakan bass dari sound system yang ditaruh di pojok belakang angkot nomor lima itu yang bikin jantung selalu berdebar-debar. Lantaran kenop volumenya disetel maksimal.

Begitulah sedikit gambaran angkot sebagai transportasi publik di Kota Balikpapan yang dikenal suka menyetel musik nyaring-nyaring, biar keren.

Angkot di Balikpapan sejak medio 2000 dikenal paling keren se-Kaltim. Dulu, remaja jenjang SMP dan SMA suka pilih-pilih angkot. Kalau angkotnya keren, maksudnya interior bersih, joknya mulus, musiknya jedag-jedug, pasti digandrungi.

Rasanya naik angkot zaman sekarang sudah sangat berbeda. Perjalanan dari Balikpapan Barat menuju Balikpapan Kota terasa begitu lama bila dibandingkan dengan mengendarai kendaraan pribadi roda dua. Perlu waktu sekitar 45 menit untuk sampai di BP. Sedangkan kalau berkendara dengan motor, dipastikan bisa ditempuh dalam waktu yang lebih cepat.

Awalnya saya kira para sopir angkot di Balikpapan sangat memahami peribahasa alon-alon asal kelakon. Lantaran caranya menyetir yang lamban dan banyak jedanya. Setidaknya 10 kali angkot berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang.

Angkot terasa lebih lambat, karena persaingan mencari penumpang sudah semakin ketat. Sehingga para sopir angkot harus mengemudi pelan-pelan dan jeli dalam melihat peluang.

Seringnya, lirikan ibu-ibu di pinggir jalan memacu tingkah para sopir yang dikeluhkan pengendara lain. Yakni ngerem mendadak dulu, baru menyalakan sein kiri. Tapi tidak semua sopir angkot seperti itu. Contohnya pemuda sopan asal Makassar yang duduk menyetir, di samping saya.

Kalau dikira-kira, pendapatannya sepanjang jalan dari Kampung Baru, melipir sebentar ke Pandansari, sampai di Terminal BP, baru sekitar Rp 50 ribu dari 6 penumpang termasuk saya.

"Tapi kadang ada yang royal ngasih (uang) lebih. Disyukuri saja," ujar si Pemuda Makassar yang lupa saya tanya namanya.

Saat ditanya berapa penghasilannya dalam sehari, Ia hanya mengira-ngira. "Cukup lah buat kehidupan sehari-hari, disyukuri aja," katanya.

Hidup memang lebih mudah dijalani dengan memperbanyak bersyukur. Namun profesi sopir angkot masa kini sedang berjuang dalam himpitan ekonomi karena berbagai faktor. Mulai dari perkembangan teknologi yang memunculkan alternatif transportasi online, kemudian ditambah dengan adanya pandemi, membuat para sopir semakin terjepit.

Namun kondisi itu tidak selalu didramatisir. Ada kalanya mereka juga bisa menikmati hidup. Di antaranya dengan cara menyetel musik keras-keras.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: