Nelayan Balikpapan Lebih Takut Cuaca Dibanding Pajak
BALIKPAPAN, nomorsatukaltim.com - Munculnya Peraturan Pemerintah (PP) 85/2021 tentang jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak (PNBP), tidak serta merta memengaruhi nelayan tradisional di daerah. Di Balikpapan, kendala melaut masih seputar mahalnya biaya solar dan cuaca yang kurang mendukung. Juliansyah, nelayan tradisional di Kampung Baru misalnya, masih aktif melaut di sekitar garis pantai Tanjung Batu sampai ke arah Muara Sungai Wain. Dengan kapal kecilnya dibawah 1 GT berukuran rata-rata panjang kapal sekitar 7 meter. "Kita (masih) melaut saja, tapi lihat kondisi juga. Kalau cuaca enggak mendukung, ya enggak turun (melaut)," ujarnya, Minggu (17/10/2021). Selama musim penghujan, kata dia, gelombang cukup besar. Tidak hanya dirasakan bagi nelayan yang mencari spot ikan di tengah lautan di Selat Makassar, tapi kondisi gelombang besar juga turut dirasakan para nelayan yang hanya melaut di pesisir. Kondisi itu yang biasanya dialami para nelayan, yang menjadi penyebab kecelakaan di laut. "Kalau angin kencang juga saya tidak menyewakan kapal bagi para pemancing. Kasihan nanti mereka juga kesulitan kalau cuacanya tidak mendukung," ungkapnya. Ditanya soal regulasi baru PP 85/2021 yang diteken Presiden Joko Widodo, akhir September lalu, Juliansyah mengaku tidak terpengaruh kebijakan tersebut. Karena dirinya merasa hanya nelayan tradisional yang cuma mengandalkan hasil tangkapan untuk dikonsumsi sendiri dan sebagiannya untuk diperjualbelikan. "Itu saja sih pengaruh cuaca. Sama solar. Makanya saya lebih suka memancing di pinggir pantai. Lebih mudah dicapai cukup pakai dayung," tutupnya. Senada, Ketua Kolompok Nelayan Usaha Lestari Fuad menyebut para nelayan yang tergabung dalam kelompoknya baru beraktifitas melaut kembali setelah sekitar tiga bulan belakangan menghindari turun ke laut lantaran cuaca yang tidak menentu. "Jadi mulai bulan 7 sampai bulan 10 itu masih kencang angin, jadi enggak bisalah," ujarnya dilansir Disway Kaltim. Kelompok nelayan ini merupakan himpunan para nelayan dengan armada lebih kurang 40 kapal perikanan tangkap yang berdomisili di sekiteran belakang Pasar Rakyat Klandasan, Balikpapan Kota. Selain kendala cuaca, para nelayan juga sering mengeluhkan kesulitan memenuhi BBM jenis solar sebagai bahan bakar kapal, saat akan melaut sampai ke lautan lepas. Karena itu jenis bisnis perikanan tangkap memiliki risiko yang sangat tinggi dan penuh ketidakpastian. Alhasil, para nelayan juga memilih waktu-waktu tertentu untuk turun ke laut. Karena banyaknya pertimbangan tadi. Ia juga menyebut sampai saat ini belum ada dampak dari turunnya PP 85/2021 bagi kelompok nelayan di daerah. Begitu juga dengan pemerintah daerah melalui dinas terkait juga belum memberikan sosialisasi terkait update regulasi yang berhubungan dengan pekerjaan para nelayan. "Sejauh ini belum ada, sih," katanya. Adapun nelayan di beberapa daerah di Pulau Jawa, sudah merasakan dampak dari kebijakan yang diproyeksikan untik mencapai target PNBP sektor perikanan tangkap mencapai Rp 12 triliun pada 2024 mendatang. "Kalau di sini tidak ada demo-demo," katanya. Menurut Fuad, penting bagi pemerintah untuk memberikan kemudahan atau dukungan kepada nelayan, bila akan menggulirkan regulasi baru. Terutama apabila menyangkut kenaikan komponen PNBP bagi para nelayan kecil. Misalnya dengan memperhatikan peningkatan fasilitas kelautan dan kemudahan operasional nelayan, seperti memberi bantuan BBM agar memicu nelayan untuk melaut. Kondisi pandemi juga disebutnya masih memengaruhi kehidupan para nelayan di pesisir. "Sejauh ini belum ada (komunikasi dengan instansi terkait). Ya kalau para nelayan ini diberi bantuan kan pasti diterima," imbuhnya. *RYN/YOS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: