Pernah Terima Upah Rp 1.500, Kini Punya 20 Hektare Kebun Sawit

Pernah Terima Upah Rp 1.500, Kini Punya 20 Hektare Kebun Sawit

"Dulu belum ada apa-apa (kelapa sawit), masih hutan. Kami rintis dan bersihkan. Saat itu jadi buruh dengan upah Rp 1.500 per hari. Kerjanya borongan,"

Paser, nomorsatukaltim.com - Puluhan tahun lalu, kehidupan Ngatmin bersama istrinya, Suyatmi, penuh perjuangan. Perekonomian pas-pasan. Bisa makan sehari saja mereka sudah sangat bersyukur. Ya, walaupun hanya cukup satu kali makan dengan lauk-pauk alakadarnya. Dengan kondisinya saat itu, Ngatmin tak mengeluh. Semua dijalani penuh keikhlasan. Bagi Ngatmin kehidupan selalu akan ada ujian. Ia percaya roda nasib bisa berputar. Terpenting tetap gigih, optimistis apapun yang dijalani. Serta selalu bermunajat kepada sang pencipta. Harapan besar datang. Ia ditawari program Perkebunan Inti Rakyat Trans (PIR Trans) yang digagas pemerintah kala itu. Ia tak menyangka, tawaran itu jadi titik balik kehidupannya yang lebih baik. Pada 1987, Ngatmin dan istri bertolak ke Kalimantan Timur. Tepatnya ke Desa Bukit Seloka, Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser. Ia meninggalkan kampung halaman Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Keluarga itu berangkat bersama 14 kepala keluarga lainnya. "Dulu belum ada apa-apa (kelapa sawit), masih hutan. Kami rintis dan bersihkan. Saat itu jadi buruh dengan upah Rp 1.500 per hari. Kerjanya borongan," kenang Ngatmin, didampingi Suyatmi saat ditemui Harian Disway Kaltim dan nomorsatukaltim.com, pekan lalu. Di awal merintis, ia kerap ngutang di warung untuk makan. Di benaknya terjadi perdebatan. Bergejolak. Pulang atau bertahan. Apalagi dirasa kehidupan sama saja dengan di kampung halaman, sama-sama sulit. Jikalau memilih pulang ke Boyolali, terkesan sia-sia dan buang waktu berangkat ke Tanah Borneo. Apalagi kala itu, dari 15 KK yang menerima PIR Trans, 10 KK di antaranya memilih kembali ke kampung halaman di Jawa. Memang satu tahun pertama belum memberikan hasil yang signifikan. Itu terus membayangi. Perlahan bayang-bayang itu sirna. Ia melihat istrinya yang selalu setia. Tak pernah mengeluh dan rutin berdoa. Seketika Ngatmin berucap "Ada keluarga yang dihidupi dan harus dibuat bahagia," ucapnya, sembari memandangi Suyatmi, wanita yang memberikannya dua orang anak. Ngatmin pun semakin gigih bekerja. Mencari sumber pemasukan tambahan. Hujan, panas, tak ia pedulikan. "Saya juga merintis (buruh) di Waru (Kabupaten Penajam Paser Utara), cari uang tambahan," terangnya. Memori ingatannya sedikit memudar. Sejurus dengan bola matanya mengarah ke atas, melihat langit-langit rumahnya yang dicat warna putih. Ngatmin mencoba mengingat masa-masa perjuangannya. Ia berpikir keras, menarik dan mengingat masa-masa lalunya lebih detail lagi. Sekira 1992-1993, barulah dirinya menerima pembagian kebun plasma sawit seluas 2 hektare untuk digarap. Ia tak ingat secara pasti berapa ton saat itu yang dihasilkan. Hanya saja panen perdana menerima pendapatan bersih Rp 300 ribu. Uang itu sebagian untuk membayar utang di warung, kebutuhan sehari-hari, dan jika masih tersisa, barulah ia simpan buat jaga-jaga. Di akhir tahun 90-an, barulah Ngatmin secara bertahap membangun rumah dan membeli lahan. Saat itu masih 5 kavling dan dirintis sendiri. Teranyar, lahan sawit miliknya kini mencapai 20 hektare. "Tak rutin dan tidak pasti berapa uang disisihkan. Tak ada patokan harus sekian persen. Pokoknya selama masih ada sisanya, saya kirim ke kampung dan belikan sapi," tuturnya dan diiyakan Suyatmi. Saat ada lahan yang dijual, dan berniat ia beli, barulah sapi itu dijual. "Uang itu harus diputar. Saya enggak nabung di bank," ujarnya. Taraf hidupnya secara bertahap mengalami peningkatan. Namun bukan berarti semuanya berjalan mulus, sesuai rencana. Ia juga pernah merugi. Bahkan pernah sawitnya sebanyak 2 truk tidak terjual (jika dikalkulasikan dengan truk ukuran 2.500 milimeter, muatan sumbu terberat maksimal 8 ton tiap truk). "Enggak laku, akhirnya saya bakar," kata Ngatmin. Dari hasil sawit itu kini, mengantarkan kehidupannya menjadi lebih baik lagi. Mulai menata rumah. Membangun warung. Memiliki beberapa kendaraan. Menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi. Memperkejakan orang untuk memanen yang dalam sekali panen bisa mendapat Rp 200 ribu per ton (revisi: semula tertulis 200 ton). Terbaru, harga tandan buah segar (TBS) sawit dijual Rp 2.500. "Dan 2018 lalu, menunaikan ibadah haji. Kami tak pernah menyangka sama sekali. Enggak pernah terpikir sama sekali bisa apa tidak naik haji. Alhamdulillah, sangat bersyukur sekali," tutup Suyatmi. ASA/ENY

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: