Pasal Advokat Curang dalam RKUHP, Abdul Rais: Tak Perlu

Pasal Advokat Curang dalam RKUHP, Abdul Rais: Tak Perlu

Balikpapan, nomorsatukaltim.com - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai perhatian kalangan advokat. Terlebih, ada pasal soal "advokat curang" yang masuk rancangan.

Padahal, RKUHP yang masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas, Juli 2021, ditargetkan dibahas oleh DPR pada Oktober-November 2021. Pasal "advokat curang" tersebut termaktub dalam Pasal 282 RKUHP yang berbunyi, "Advokat dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V bagi Advokat yang dalam menjalankan pekerjaanya secara curang." Curang yang dimaksud adalah mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien. Padahal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya. Selain itu, juga memengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan. Salah seorang advokat di Kota Balikpapan, Abdul Rais pun angkat bicara. Menurutnya, segala sesuatunya baik aturan maupun regulasi terkait advokat dalam beracara, sudah diatur di masing-masing aturan. Seperti KUHP, tindak pidana korupsi (Tipikor), dan kode etik advokat. "Harusnya tidak perlu ada lagi aturan-aturan yang mengatur provesi advokat itu. Kita ini sudah banyak diatur," ujarnya. Lanjut Rais, penjelasan di dalam pasal 282 RKUHP tersebut ditujukan kepada advokat yang secara curang merugikan kliennya, atau meminta kliennya menyuap pihak-pihak yang terkait dengan proses peradilan, sangat tidak masuk akal. Pasalnya, Rais menilai seorang klien sendirilah yang menunjuk atau memilih seorang advokat itu untuk dijadikan kuasa hukum dalam perkaranya. "Kita ini kan dipilih, bukan memilih. Jadi kalau dikatakan advokat curang, itu konotasinya seolah-olah profesi kita ini enggak bener dan asal-asalan," jelasnya. Rais pun mendukung pernyataan salah satu advokat senior di Ibu Kota yang juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN PERADI), Prof Dr Otto Hasibuan SH MM. Dikutip dari wawancara yang dilakukan Media Justitia, Otto Hasibuan menyampaikan beberapa poin yang dirasa kurang tepat berkenaan dengan Pasal 282 RKUHP. Yakni pasal 282 RKUHP hampir sama dengan yang telah diatur dalam Undang-Undang  (UU) Tipikor. Sehingga menjadi sebuah repetisi dan dirasa tidak perlu ada. Kemudian, substansi Pasal 282 RKUHP hanya menyoroti kesalahan atau potensi kesalahan advokat yang sebetulnya sudah diatur jelas dalam kode etik advokat. "Saya dukung pernyataan Pak Otto Hasibuan, kan dia ada menjelaskan poin-poin yang sebenarnya sudah ada namun masih dibuat juga. Kan kesannya kayak tumpang tindih aturan," tambah Rais. Disinggung Rais, perbuatan curang atau melanggar kode etik akan mendapat sanksi berat dan bahkan berpotensi untuk dipecat. Pasal 282 RKUHP terkesan diskriminatif, prejudice dan tendensius, karena hanya ditujukan kepada advokat. Perbuatan curang tidak hanya dapat dilakukan oleh advokat, tetapi juga penegak hukum lain atau bahkan oleh klien terhadap Advokat. "Advokat itu justru tugasnya mempengaruhi hakim, panitera dan segala sesuatu hal yang terkait dengan hukum dalam arti yang positif, yakni dengan meyakinkan hakim terhadap dalil-dalil hukum dan pendapat-pendapat hukum. Di dalam Pasal ini hanya disebutkan kata-kata 'mempengaruhi panitera, mempengaruhi hakim'. Nah, bagaimana yang dimaksud dengan mempengaruhi hakim? Ini nanti bisa menjadi bias yang mempersulit pembuktian, serta merugikan profesi advokat," ujarnya lagi. Lebih lanjut, Rais menjelaskan, akibat dari penerapan pasal tersebut terhadap hubungan advokat dan klien, dapat mengancam profesi advokat. Pada beberapa kondisi, advokat diberi kuasa oleh klien untuk berunding dengan pihak lawan yang tidak selalu berakhir menguntungkan klien. Apabila hasilnya merugikan namun telah disepakati oleh klien, dalam kacamata hakim dan hukum, kondisi ini tetap dapat dinyatakan sebagai kondisi yang merugikan klien. Dengan demikian, advokat tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik dan profesi advokat menjadi terancam. Hal tersebut juga akan berimbas pada terhambatnya advokat dalam menegakkan hukum. Terlebih lagi saat ini tengah digemborkan terkait restorative justice (upaya untuk mendamaikan para pihak). "Padahal tanpa pasal itu sendiri, advokat tidak mungkin merugikan kliennya apabila sudah diberikan kuasa. Hubungan antara advokat dan klien adalah kepercayaan. Makanya dikatakan bahwa profesi advokat adalah profesi yang noble (suci)," PERADI sendiri menyadari, dalam praktiknya ada advokat yang berlaku curang terhadap klien dan perlu mendapatkan sanksi. Tetapi tidak tepat apabila dikenakan dengan Pasal 282 RKUHP tersebut. "Selama ini kalau ada orang yang melanggar, akan ditindak tegas oleh Dewan Kehormatan melalui penjatuhan sanksi dan bahkan ada yang dipecat.” tambah Rais. Rais kembali menegaskan, menurutnya keberadaan Pasal 282 tidak tepat untuk dimasukkan pada RKUHP. Karena akan sangat merugikan advokat dan para pencari keadilan. Dengan adanya pasal ini, advokat berpotensi untuk menolak menemani klien dalam perundingan akibat khawatir akan dituduh sebagai "advokat curang". (Bom/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: