UMP 2020 Naik 8,51 Persen, Apindo: Terlalu Tinggi untuk Kaltim

UMP 2020 Naik 8,51 Persen, Apindo: Terlalu Tinggi untuk Kaltim

Novel Chaniago (tengah). (Ist)

Samarinda, DiswayKaltim.com – Kementerian Ketenagakerjaan RI menetapkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2020 sebesar 8,51 persen.

Penetapan ini akan menjadi acuan bagi seluruh provinsi di Indonesia. Untuk memutuskan besaran UMP tahun depan.

Saat ini, UMP Kaltim senilai Rp 2.747.561,26. Jika ditambah dengan kenaikan 8,51 persen itu, maka UMP Kaltim 2020 sebesar Rp 2.981.378,72.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Samarinda Novel Chaniago mengatakan, kenaikan UMP tersebut terlalu tinggi untuk Kaltim.

“Enggak ideal untuk Kaltim. Terlalu tinggi. Karena pertumbuhan ekonomi nasional itu lebih tinggi dari pada Kaltim,” kata Novel kepada diswaykaltim.com, Sabtu (19/10/2019) sore.

Ia menyarankan, kenaikan UMP 2020 untuk Kaltim sebesar 5 persen. Mengacu pertumbuhan ekonomi dan inflasi Kaltim tahun 2019. Sementara acuan pemerintah pusat, pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.

“Di saat Kaltim pertumbuhan ekonominya negatif, kita dipaksa harus naik 8,25 persen pada 2016. Begitu juga di 2017 dan 2018. Sekarang 2019, dipaksakan begitu juga,” sesalnya.

Hal ini, kata Novel, memberatkan pengusaha. Sudah empat tahun kenaikan UMP Kaltim tak sesuai harapan pengusaha. Pemerintah selalu menaikkan UMP yang tak mempertimbangkan kemampuan pengusaha.

Akibatnya fatal. Pengusaha semakin dipersulit. Banyak pengusaha yang terpaksa melanggar kebijakan pemerintah. Upah yang diberikan kepada pekerja besarannya jauh dari UMP.

“Kayak toko-toko itu. Gaji karyawan berapa? Paling Rp 1 juta, Rp 1,5 juta, dan paling banyak Rp 2 juta per bulan. Kalau dibawa ke hukum, itu melanggar hukum semua. Tapi kalau dipaksa ikut UMP, ya mereka enggak bisa berusaha. Bisa tutup semua,” jelasnya.

Novel menyarankan, UMP mestinya ditetapkan sesuai klaster usaha. UMP perusahaan besar besarannya bisa disesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi nasional atau daerah. Sementara perusahaan kecil, dibuat formulanya tersendiri.

Begitu pula dasar penetapan komponen kebutuhan hidup layak (KHL). Disesuaikan dengan klaster usaha. Sejauh ini, pemerintah menetapkan 60 komponen untuk KHL. Ia tidak sependapat kebijakan yang demikian. Mestinya KHL dibuat spesifikasinya sesuai klaster usaha.

“Mungkin itu untuk perusahaan besar. Kalau perusahaan menengah dan padat karya. Yang banyak mengalami kesulitan. Mestinya KHL untuk itu tidak 60 komponen. Tapi kami mengusulkan 45 komponen. Terus untuk yang kecil, 35 komponen,” sarannya. (qn/eny)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: