Soal SMAN 10 Samarinda, Daeng Naja: Ambil Jalan Tengah
Samarinda, nomorsatukaltim.com - Praktisi hukum, Daeng Naja menilai polemik SMAN 10 dapat diselesaikan dengan mencari jalan tengah kedua pihak. salah satunya ada pihak yang mau menebus tanah atau bangunan untuk dimiliki seutuhnya. Misalnya, Pemprov Kaltim membayar nilai harga bangunan-bangunan yang dimiliki Yayasan Melati.
Atau sebaliknya, Yayasan Melati membayar tanah yang dimiliki Pemprov itu. Atau dalam istilah hukum disebut ruislag, proses tukar menukar aset. "Jadi, kalau umpama tanah itu adalah milik pemerintah, dan bangunan itu adalah milik yayasan, jalan tengah itu dimungkinkan. Karena asaz hukum pertanahan kita adalah pemisahan horizontal," jelas Daeng Naja. Hal itu biasa dilakukan dalam kasus pemilik tanah berbeda dengan bangunan yang berada di atasnya. Ia sendiri dalam mencerna persoalan ini, mengatakan bahwa sangat dimungkinkan secara hukum bila bangunan kampus tersebut adalah milik Yayasan Melati. Karena yayasan lah yang membangunnya. Sementara tanahnya milik Pemprov Kaltim, yang semula diberikan hak pakainya kepada Yayasan Melati, kemudian diambil alih pada masa pemerintahan Awang Farouk Ishak sebagai gubernur Kaltim. "Tapi kalau misalnya Pak Isran Noor (gubernur Kaltim saat ini) mengeluarkan disposisi menyuruh pindah SMAN 10 Samarinda ke Jalan Perjuangan, maka pertanyaannya bagaimana status tanah itu?" "Boleh memang Pak Isran mengembalikan hak kelola/pakai tanah itu, tapi mesti diperjelas," kata Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) ini. Menurut Daeng Naja, polemik ini muncul sejak Pemprov Kaltim yang saat itu dipimpin Awang Farouk Ishak mengambil alih tanah hak pakai dari Yayasan Melati. Padahal, menurut analisis hukum saat itu, tidak ada pelanggaran atau tidak ada perbuatan yang dilakukan Yayasan Melati yang bisa menjadi alasan untuk mengambil alih atau meminta kembali tanah yang sudah diserahkan pengelolaannya kepada Yayasan Melati. Berdasarkan undang-undang tentang yayasan. Karena umumnya, jelas dia, tanah yang diberikan pengelolaannya kepada yayasan untuk membangun kegiatan sosial, seperti pendidikan, dan keagamaan, selalu ada kalimat yang menyatakan batas waktu peminjaman atau pemberian hak kelola dalam perjanjiannya. Meski memang, tambahnya, kadang tidak disebutkan jangka waktu tersebut dalam perjanjian pinjam pakai. Tetapi kata dia, dalam hal tidak ada jangka waktu, maka tanah tersebut baru bisa diambil jika yayasan yang diberikan hak tidak lagi menggunakan tanah tersebut sesuai peruntukannya. "Jadi, seharusnya, sepanjang Yayasan Melati melaksanakan kegiatan pendidikan, sesuai dengan kegiatan usahanya yang ada di Anggaran Dasar-nya, sebagai Yayasan, tidak ada alasan pemerintah mengambil lagi itu tanah. Kecuali memang ada batas waktunya," papar Daeng Naja. "Makanya kalau Pak Isran mau mengembalikan lagi hak pinjam pakai tanah itu kepada Yayasan Melati, itu luhur sekali. Artinya mau mengembalikan lagi kepada aturan yang sebenarnya," ucapnya. Daeng Naja, memuji tindakan gubernur itu, yang mengkaji secara hukum bahwa dalam persoalan ini aset bangunan tersebut sejatinya milik Yayasan Melati dan ingin mengembalikan hak pinjam pakai tanah yang ditempatinya. "Saya harus angkat jempol. Keputusan yang sangat brilian. Mengembalikan semua kepada proporsinya. Bahwa tanah itu selama masih digunakan untuk kegiatan pendidikan maka itu masih boleh digunakan oleh Yayasan Melati. Sampai Yayasan Melati berubah fungsi, tidak lagi menjadikan tanah sebagai areal sekolah, maka Pemprov wajib mengambil lagi itu tanah. Karena sudah tidak sesuai peruntukannya," ia mengatakan. Ia menjelaskan, bahwa walaupun pembangunan gedung-gedung oleh Yayasan Melati itu mendapatkan bantuan dana hibah dan Bansos dari pemerintah, maka tetap menjadi milik Yayasan Melati. Asalkan dalam penggunaan hibah dan Bansos Yayasan Melati dapat mempertanggungjawabkan dengan baik dan benar. Ia mengatakan pula, bahwa yayasan sejatinya adalah milik masyarakat. Yang dikelola orang-orang dalam struktur organisasinya. Yang umumnya terdiri dari dewan pengawas, pembina dan pengurus. "Saya memberikan analisis ini sebagai orang yang hampir tiap hari bergelut dengan yayasan. Tanpa melihat mana yang benar dan salah. Kalau umpama gubernur benar, berarti gubernur yang benar," ujar Daeng Naja. "Bagusnya gubernur ini memberikan disposisi itu sebenarnya menurut saya menghilangkan konflik. Cuma saja tidak serta merta mungkin SMAN 10 itu disuruh pindah. Mungkin bukan hari ini. Masih ada jeda waktu untuk menghabiskan siswanya lulus di sana. Misal diberi waktu sampai tahun ajaran baru berikutnya. Tidak pindah drastis. Begitu mungkin teknisnya," tutupnya. (das)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: