ESL Sekarat; Saling Sikut Antar ‘Badut’
ESL yang awalnya wacana hebat. Akan berakhir sebagai pesakitan.
Oleh: Ahmad Agus Arifin Seperti disebutkan pada bagian pertama tulisan ini. Inisiator ESL dan UEFA adalah orang-orang yang paham betul cara mencari uang dari sepak bola. Pun sama-sama tahu cara menjegal orang yang mencuri ‘jatah’ mereka. Di pertarungan kali ini pun, inisiator ESL dan UEFA memainkan trik yang begitu kelas atas. SEJAK awal wacana Europan Super League (ESL) dicuatkan. UEFA atas dukungan penuh dari FIFA. Sudah memberi ancaman besar. Klub-klub yang berusaha mengkhianati sepak bola itu. Diberi pilihan; lupakan ESL atau kalian tak bisa lagi bermain di seluruh kompetisi resmi FIFA. Termasuk pemain kalian. Tapi tahu apa respons para pentolan ESL? Menertawai. Mereka bahkan mengancam balik. Kalau pemain tidak bisa main di turnamen FIFA macam Piala Dunia. Mereka akan buat ‘Piala Dunia’ sendiri. Fakta bahwa federasi sepak bola adalah kandang koruptor membuat Florentino Perez ‘pura-pura’ jengah. Mereka bergeming. Potensi pendapatan 10 miliar euro per klub terus digaungkan. Coba menahan komitmen klub-klub besar yang mulai diserang para pemain dan pendukungnya. UEFA yang berada di atas angin. Berkat posisi mereka sebagai federasi yang legal. Plus dukungan penuh dari para suporter, pemain, dan legenda sepak bola. Tetap tak bisa tenang. Diramaikan lagi soal wacana perubahan format Liga Champions musim 2024. Yang akan menambah kontestan dan jumlah laga. Agar klub peserta bisa mendapat lebih banyak uang. Tetap saja, cara itu tak terlalu jitu. Bukan hanya inisiator ESL yang tak bergeming. Borussia Dortmund dan Bayern Munich yang terang-terangan menolak ajakan gabung ke ESL saja. Menolak wacana yang digulirkan UEFA itu. Tak berhasil, UEFA lalu melangkah dalam diam. Secepat kilat. Merencanakan operasi penculikan. Para petinggi ESL tak bisa lagi digoda keteguhannya. Potensi cuan besar telah membutakan mata mereka. Mengagungkan aspek sepak bola tidak akan bisa memperdaya mereka. Maaf, UEFA tak mungkin melakukan itu karena mereka sendiri tidak menjunjung aspek sepak bola dalam derap langkahnya. UEFA diam-diam mencari investor asal Inggris untuk mendukung perubahan format Liga Champions mereka. Supaya lebih untung di mata klub. Begitu informasi itu bocor, psikis pentolan ESL belum juga terganggu. Dan langkah akhir adalah, melancarkan aksi penculikan. UEFA bersedia memberi kompensasi pada 6 klub Inggris; Manchester United, Manchester City, Chelsea, Liverpool, Arsenal, dan Tottenham Hotspur. Jika mereka mau cabut dari ESL. Sekilas aksi ini adalah trik murahan. Memberi sejumlah uang yang nilainya jauh lebih kecil dari yang dijanjikan ESL. Angel pasti angel. Tapi di sinilah kecerdikan UEFA. Mereka menjalankan operasi penculikan ini di waktu yang tepat. Sepanjang Selasa yang gila di Britania Raya. Keenam klub Inggris itu sedang dalam tekanan besar. Terutama yang dialami oleh Liverpool, Man United, dan Chelsea. Desakan besar dari fans berhasil menjadi energi bagi para pemain setiap klub untuk melakukan penolakan. Konfrontasi terjadi di luar stadion, sampai internal klub. Bujuk rayu klub pada pemain tak mempan. Mereka mempertahankan kebanggaan sepak bola. Klub kian tertekan. Liverpool sampai ditinggal salah satu sponsornya. Saham Man United yang dalam dua hari naik hingga 9 persen di bursa saham. Anjlok tak karuan. Dalam permainan psikologis ini, UEFA akhirnya menang. Karena toh, tanpa iming-iming kompensasi. Keenam klub Inggris itu sudah dalam posisi siap-siap putar balik. Mereka sudah terlalu takut ditinggal para penggemar dan pemain bintangnya. Sudah mau pulang, ditawari ongkos pula. Ya, tanpa babibu lagi. Mereka langsung bilang oke. Dalam operasi penculikan ini. UEFA tak hanya bermain di waktu yang tepat. Tapi juga bertindak cermat. Dari sekian banyak klub inisiator ESL. Kenapa hanya tim Inggris yang diculik? Jawabnya, karena tim Inggris yang paling laku di dunia. Paling laku di Asia dan Amerika. Dua benua yang ingin disasar ESL. UEFA tak begitu peduli pada perwakilan Spanyol dan Italia. Karena kedua liga itu mengusung konsep ‘Eropa banget’. Popularitas mereka tidak menanjak hebat. Pendapatan dari hak siar juga tak terlalu menggiurkan. Berbeda dengan Premier League yang rela bermain di siang hari demi memanjakan penontonnya di Asia. Orang-orang Asia, ya termasuk kita. Tidak perlu menunggu jam 3 atau 4 dinihari untuk menonton tim kesayangan. Premier League kerap ditayangkan tengah malam. Jam ideal menonton tayangan televisi. Hal ini mereka lakukan sudah sejak jauh hari. LaLiga dan Serie A yang belakangan mulai mengadopsi konsep itu. Melunturkan ego Eropasentris mereka. Belum cukup banyak meraup penonton baru. Atas dasar itu, UEFA memfokuskan operasi penculikan mereka ke klub-klub Inggris saja. ESL tanpa tim Inggris, tak akan menjadi apa-apa. Dan kini, ESL sedang berada di ambang kritis. Hampir pasti batal. Tepuk tangan untuk ‘badut’ UEFA! Selasa (waktu Inggris) memang menjadi hari yang benar-benar gila. Berita mengenai penolakan ESL tak habis-habisnya. Selain adanya konfrontasi di internal. Serta desakan masif dari suporter. Siang harinya, Jordan Henderson, kapten Liverpool. Menginisiasi rapat virtual bersama 19 kapten tim Premier League lainnya. Yang saya duga, kapten Fulham, Sheffield, dan West Brom hanya mute karena tim mereka bakal terdegradasi. Hehe. Dari rapat itu, diketahui bahwa 14 klub di luar 6 klub calon peserta ESL menolak ihwal turnamen itu. Dan dengan berbagai tekanan itu, ditambah trik licin dari UEFA. Membuat keenam klub tersebut akhirnya tarik diri. Menutup hari yang gila itu. Public enemy Manchester United, Ed Woodward. Mundur dari jabatannya sebagai chief eksekutif. Bagi penggemar MU, batalnya klub kebanggaan mereka ke ESL dan mundurnya Ed Woodward adalah kemenangan ganda. Sampai berita ini dibuat pada Kami 21 April sore waktu Indonesia. Enam klub Inggris dipastikan cabut. Inter melakukan hal yang sama. Milan sedang siap-siap untuk cabut. Sementara Juventus serta 3 klub Spanyol belum menentukan sikap. Pada akhirnya, suporter dan pemain memenangkan sepak bola. Sementara ‘badut’ UEFA berhasil mengamankan ladang uang mereka. Saya tidak membenci profesi badut. Mereka lucu, anak saya begitu menyukainya. Sematan ‘badut’ untuk petinggi UEFA dan ESL. Adalah karena mereka itu orang-orang yang pandai sekali membuat panggung hiburan di sepak bola. Memproduksi kegembiraan, kebanggaan, dan kebencian demi meraup ratusan juta euro saban tahunnya untuk kepentingan kelompok mereka. Besok masih akan kita lanjutkan edisi ini. Barangkali akan jadi seri pamungkasnya. (ava)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: