Wakil Ketua KPK: Masyarakat Ikut Memicu Korupsi

Wakil Ketua KPK: Masyarakat Ikut Memicu Korupsi

Pemilihan umum di masa reformasi, ternyata tak mampu mengikis korupsi. Berdasarkan sigi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak 2004-2020, ratusan pejabat hasil pemilu terjaring kasus rasuah. Para pemilih punya andil.

nomorsatukaltim.com - WAKIL Ketua KPK, Nurul Ghufron mengatakan, selama 5 kali pemilihan umum, ratusan pejabat pusat dan daerah tersandung korupsi. Setidaknya ada 280 anggota dewan, 21 gubernur, dan 129 bupati/ wali kota dipenjara karena korupsi. Berbicara dalam Kuliah Tamu Pendidikan Antikorupsi di Universitas Mulawarman, Kamis (1/4/2021), Nurul mengatakan kondisi tersebut disebabkan berbagai faktor. Selain faktor pelaku, juga ada andil para pemilih.  Saat ini terjadi perubahan orientasi menjadi pejabat publik untuk kepentingan privat. “Sekarang semua level pejabat public (cenderung) diberdayakan untuk kepentingan pribadi. Bukan untuk melayani orang lain,” katanya. Namun itu bukan satu-satunya yang menjadi faktor pemicu. Penyebab lain berdasarkan survei indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang melorot.  Dari 9 elemen yang menjadi ukuran IPK, ada 3 klaster yang menjadi penilaian. Pertama klaster iklim usaha, kedua penegakan hukum birokrasi, dan klaster ketiga indeks demokrasi. “Dari tiga klaster itu, poin kedua, yakni penegakan hukum birokrasi justru naik 2 poin. Sementara klaster iklim usaha dan indeks demokrasi kita turun,” jelasnya. Dengan data itu, menurut Ghufron, penurunan IPK bukan karena kegagalan KPK, melainkan pengaruh dari sektor lain. “Demokrasi kita ikut memengaruhi penilaian IPK. (karena) demokrasi kita dianggap sudah menyimpang, akibat kompetisi pemilu atau pilkada, yang seharusnya menjadi ajang memilih pemimpin untuk aspirasi publik. Tapi faktanya, tidak,” kata dia. Survei berdasarkan basis data serta pemahaman masyarakat dan ahli, yang bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Yang bikin miris, kata bekas Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember ini, masyarakat kita bukan hanya menerima amplop saat pilkada, pileg, atau pilpres, tetapi sudah menganggap biasa. “Jadi mereka menunggu. Kalau tidak ada itu (amplop), tidak ke TPS, karena menganggap ini pesta lima tahun sekali,” ujarnya. Ini yang menjadi penyebab pemilu atau pilkada berbiaya tinggi. “Akhirnya, pejabat berorientasi mengembalikan modalnya saat terpilih,” ucap Ghufron. “Faktor kriminogen ini membuat orang terjerembab jatuh (melakukan korupsi) karena cost politik tinggi. ketika duduk mikirnya gimana mengembalikan modal.” Survei lain juga dilakukan kepada orang tua murid kepada guru. “Ternyata saking care kepada anaknya, ortu menganggap biasa memberikan gratifikasi kepada guru,” kata Ghufron. Padahal, pemberian itu termasuk gratifikasi, dan punya konsekuensi hukum. Tahun lalu, IPK Indonesia merosot tiga poin. Dari posisi 40 ke posisi 37. Dari 180 negara yang disurvei Transparency International Indonesia, Indonesia berada di posisi 102. IPK menunjukkan penilaian responden terhadap risiko korupsi dan efektivitas pemberantasan korupsi. Skor IPK tinggi menunjukkan negara tersebut memiliki risiko korupsi yang rendah. Sebaliknya, skor yang rendah menunjukkan risiko korupsi yang tinggi. Tahun lalu, Selandia Baru, dan Denmark meraih skor 88, paling tinggi di antara negara yang disurvei.

IKAP PERMISIF

Ghufron menambahkan, semua orang menganggap COVID-19 sebagai musuh, “tetapi kalau korupsi, masih ada yang ragu-ragu. Karena masih ada yang menikmati dan anggap ini jalan lain menu roma,” kata dia. Hal ini yang menyebabkan masyarakat gamang, tidak jelas. “Apakah mau perbaiki atau melanggengkan.” Karena hal itu, Ghufron menilai korupsi bukan lagi menjadi penyakit sistemik, tetapi juga menjadi penyakit karakter. “Banyak orang maju pilkada ingin jadi anggota dewan, bupati, wali kota sampai menteri dan presiden orientasinya bukan lagi mengabdi kepada rakyat, tetapi ingin menjabat dan dengan jabatan tersebut ingin dapat keuntungan,” jelasnya panjang lebar. Ia membandingkan kondisi ini dengan para pendiri bangsa. “Lihat Tan Malaka, atau Buya Hamka,” ujarnya. Ia menyitir ucapan Buya Hamka yang sohor “Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau kerja sekadar kerja, kera di hutan juga kerja.” Menurut Ghufron, Indonesia tidak kekurangan professional, namun kekurangan orang jujur. Menurutnya, hal ini sangat berbahaya. “Orang pintar tidak jujur yang diambil tidak hanya besi, atau mobil, atau emas. Bisa jadi, mereka ambil rumah sakit dimakan, pelabuhan dimakan, jembatan bisa dimakan,” katanya. Ia mengaku prihatin dengan kondisi ini karena pelaku korupsi 86 persen alumni perguruan tinggi. Seharusnya, semakin tinggi pendidikan karakternya semain beradab, berintegritas. “Koruptor itu rata-rata sarjana, beda dengan penjahat konvesional macam jambret,” kritiknya. Dalam kesempatan terpisah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Mahendra Putra Kurnia, mengatakan risiko korupsi melalui politik dinasti cukup besar. Hal ini terjadi karena hubungan kekerabatan memunculkan konflik kepentingan. Karena itu, ia berharap para pejabat pemerintah memberikan keteladanan agar dapat menutup celah korupsi. Berdasarkan telaah KPK, bentuk korupsi di daerah berkaitan dengan wewenang kepala daerah menjalankan roda pemerintahan. Mislanya melalui intervensi dalam kegiatan belanja daerah, intervensi penerimaan daerah, perizinan,  benturan kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan data tindak pidana korupsi yang ditangani KPK sejak 2004 sampai Desember 2020, tercatat 1.075 perkara. Perkara itu terdiri dari kasus PBJ 224 perkara, perizinan 23, penyuapan 708, pemerasan 26, penyalahgunaan anggaran 48, TPPU 37, merintangi proses penindakan KPK 9. (krv/aaa/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: