Mengurai Duduk Perkara Konflik Hutan Adat (4): Percepat Kerja Sama, Ingin Setara dengan Desa Sekitar

Mengurai Duduk Perkara Konflik Hutan Adat (4): Percepat Kerja Sama, Ingin Setara dengan Desa Sekitar

Petani Desa Long Bentuq menilai tuntutan sebesar Rp 15 miliar dalam kasus yang dikaitkan dengan Hutan Adat, hanya nafsu segelintir orang. Mayoritas warga desa, diklaim menginginkan kemajuan daerahnya melalui kerja sama dengan perusahaan perkebunan. Seperti desa-desa tetangganya.

nomorsatukaltim.com - “Menurut saya, tuntutan itu hanya nafsu. Mereka menolak program jangka panjang, yang sebenarnya diharapkan oleh hampir seluruh warga Desa Long Bentuq,” kata Stefanus Le’eng. Bekas Kepala Desa Long Bentuq Kecamatan Busang Kabupaten Kutai Timur ini menyebut kerja sama dengan perusahaan merupakan salah satu upaya meningkatkan ekonomi. “Kenapa saya bilang begitu, karena kalau berharap hanya dari berladang, kami kesulitan menjual (hasil panen). Desa kami ini di pedalaman. Kami tak punya alat untuk menjual hasil panen. Kalau ada, lokasinya jauh sekali. Kami sudah merasakan beratnya ongkos, sementara hasil (penjualan) tidak seberapa.” Le’eng mengatakan, tuntutan sebagian warga desa membuat berbagai program tak berjalan. Selain program petani plasma, perusahaan juga menawarkan ternak sapi, percetakan sawah, kebun kelapa sawit, dan sebagainya. Akibatnya, kata Le’eng, desa ini jauh tertinggal dibandingkan desa sekitar. Baca juga: Mengurai Duduk Perkara Konflik Hutan Adat (1): Melihat dari Dekat Desa Long Bentuq Ketua RT 03 ini mengatakan, kelompok warga yang menuntut denda hanyalah sebagian kecil warga Desa Long Bentuq. Tetapi mereka memiliki akses ke lembaga swadaya masyarakat. “Kelompok yang menolak itu, di bawah 15 persen saja. Sisanya, kami memilih untuk menyetujui kerja sama dengan perusahaan sawit. Dan keputusan yang sudah diambil pemerintah,” imbuh Le’eng. “Hanya karena kelompok itu, keinginan warga untuk hidup lebih sejahtera malah terhambat.” Saking geramnya dengan para penentang, Le’eng menyebut ‘kelompok kecil’ itu mendiskreditkan berbagai pihak, termasuk pemerintah. “Mereka konferensi pers, merendahkan orang lain. Menyatakan telah terjadi perampasan lahan hutan adat. Padahal pemerintah juga sudah turun langsung guna menyelesaikan permasalahan ini. Tetapi ada yang terus menghasut mereka,” kata pria 64 tahun ini. Baca juga: Mengurai Duduk Perkara Konflik Hutan Adat (2): Syukuran Panen di Kaki Pelangi Sebagai bentuk dukungan kerja sama itu, Le’eng dan Kepala Desa Long Bentuq, Heriansyah, sempat menggelar aksi untuk merespon penolakan. Aksi digelar Rabu, 24 Februari 2021 secara tertib. Bahkan, dukungan juga disampaikan para pemuka adat dan pemuka agama. Menurut Le’eng, pada rapat fasilitasi tahun 2015 menyimpulkan, klaim atas hak ulayat masyarakat adat Dayak Modang Long Wei Desa Long Bentuq tidak dapat diakomodir Pemerintah Kabupaten. Karena keberadaanya belum memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat. Pada Akhir 2020, tuntutan Kepala Adat Dayak Long Bentuq kembali bergulir dengan permintaan denda adat sebesar Rp 15 miliar. Sebagai jalan tengah, PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA) kembali menawarkan kerja sama kemitraan bagi masyarakat Desa Long Bentuq. Namun tawaran tersebut kembali kandas. Padahal Kepala Desa Long Bentuq beserta mayoritas masyarakat sudah menerima baik solusi tersebut. Pada 30 Januari 2021, Kepala Adat Dayak Long Bentuq menutup akses jalan di km 16. Penutupan tersebut menyebabkan PT SAWA tidak dapat menyalurkan produksi sawitnya. Bukan hanya perusahaan yang dibuat rugi, “tapi kami sebagai masyarakat setempat juga dirugikan.” Baca juga: Mengurai Duduk Perkara Konflik Hutan Adat (3): Suara Petani di Antara Sengketa Karena sudah mengganggu aktivitas masyarakat dan perusahaan lain yang biasa menggunakan akses jalan tersebut. “Pada dasarnya, kami yang menerima tawaran perusahaan sawit, tetap menempatkan diri agar tidak diikut-ikutkan dalam aksi mereka. Kami selalu berusaha untuk menghindar dari permasalahan yang mereka buat-buat itu. Yang sangat disayangkan permasalahan ini justru membuat heboh kabar berita yang tersampaikan oleh media di luaran sana,” ucap Le’eng lagi. Menurutnya, sebagian besar warga Long Bentuq hidup dalam keadaan tenteram. “Yang menganggap itu sebuah masalah hanya mereka saja. Tidak seperti yang disampaikan oleh sejumlah LSM yang menggelar konferensi pers saat itu.” Sebagai warga Dayak Modang, Le’eng mengaku tak senang dengan kata-kata yang muncul dalam aksi penutupan jalan. “Maaf, karena mereka menggunakan kata-kata yang terkesan mengusir dengan menyebut orang lain sebagai 'Pendatang'.” “Sementara kami, sejak dari zaman Kesultanan Kutai Kartanegara dahulu. Desa kami sudah terbangun bersama suku-suku lainnya,” ujar dia. Ia menegaskan tidak ada persoalan atas nama kesukuan di Long Bentuq. “Kami tidak ingin orang yang tidak paham permasalahan justru semakin memperkeruh keadaan. Kami tidak ingin hadirnya oknum-oknum di luar sana, yang ikut campur memberikan bisikan semakin memperkeruh suasana.” Pada akhir Januari lalu, sejumlah warga memportal jalan sawit, menuntut pembayaran denda sebesar Rp 15 miliar kepada PT SAWA. Akibat aksi itu, tiga orang sempat dimintai keterangan polisi. Menurut keterangan Benediktus Beng Lui, seperti dilansir BBC Indonesia, sengketa itu bermula dari keputusan Bupati Kutai Timur pada 2006 yang memberikan hak 14.350 hektare lahan kepada PT SAWA untuk membuka perkebunan sawit. Pada 2015 untuk pertama kalinya ada aksi menuntut ha katas tanah yang digusur perusahaan. Namun dalam keterangan terpisah, Kepala Badan Musyawarah Desa Long Bentuq, Silwanus Leiju mengatakan, kemitraan perusahaan dengan masyarakat harus segera direalisasikan. (bersambung/aaa/yos)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: