PGN Keluhkan Serapan Gas Industri yang Masih Rendah

PGN Keluhkan Serapan Gas Industri yang Masih Rendah

Jakarta, nomorsatukaltim.com – PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), subholding gas PT Pertamina (Persero), menyatakan serapan industri yang sudah mendapatkan alokasi gas dengan harga yang dipatok pemerintah tidak maksimal. Bahkan jauh dari harapan pemerintah.

Direktur Utama PGN, Suko Hartono mengatakan, sesuai Keputusan Menteri Nomor 89 dan 91, PGN harus menyalurkan gas kepada industri dan pembangkit listrik dengan harga maksimal USD 6 per MMBTU di plant gate. Harga tersebut untuk industry. Sudah diberlakukan sejak 13 April 2020. Dan pembangkit listrik sejak 22 April tahun lalu. Menurut Suko, PGN sudah melakukan upaya untuk mengikuti penugasan tersebut. Namun dalam implementasinya, industri yang sudah ditentukan untuk mendapatkan harga gas terjangkau tidak menyerap gas dengan optimal. PGN mencatat, realisasi serapan gas sesuai dengan alokasi dalam Kepmen 89 hanya 229,4 bbtud atau 61 persen dari total alokasi. “Ini yang menjadi catatan untuk dievaluasi bersama. Karena meski diberi harga relatif baik, tapi pemakaiannya masih 61 persen. Kami harapkan mestinya bisa sampai 100 persen dan lebih mendorong industri hilir untuk memanfaatkannya lebih baik. Sehingga multiplier effect-nya melalui pembayaran pajak,” kata Suko di sela rapat dengan Komisii VII DPR, Rabu (24/3). Serapan gas pembangkit listrik relatif lebih baik. Meski belum tercapai sesuai alokasi. “Untuk Kepmen 91 serapannya 251,6 bbtud atau 80 persen realisasi dari alokasi,” ungkap dia. Suko mengatakan, dampak dari tidak optimalnya serapan gas yang sudah dialokasikan adalah pendapatan perusahaan yang melorot. PGN telah berupaya untuk menjalankan penugasan dari pemerintah. Agar harga gas bisa USD 6 per MMBTU. Namun, sangat disayangkan jika ujung-ujungnya industri yang selama ini meminta untuk diturunkan harga ternyata tidak menyerapnya. Sesuai harapan sebelumnya. “Penugasan kami lakukan 100 persen. Dan efisiensi-efisiensi juga kami lakukan dengan integrasi,” kata Suko. Untuk itu, PGN telah mengusulkan agar diberikan insentif atas tidak optimalnya serapan industri. Untuk menutupi kekurangan pemasukan yang diderita perusahaan. Karena serapan gas yang tidak optimal tersebut. Insentif tersebut penting. Pasalnya, gas sudah terlanjur dibeli PGN dari para produsen. Sementara saat gas sudah siap disalurkan, industri tidak bisa menyerapnya. “Gas ini bercampur menjadi satu. Jadi tidak bisa dipisahkan mana gas Kepmen dan non-Kepmen. Realisasi yang perlu dievaluasi baru 61 persen yang dilayani PGN. Sedangkan untuk Kepmen 91 kurang lebih 80 persen. Dari awal kami bilang tidak bisa dipisahkan. Maka kami usulkan insentifnya gas tadi dimanfaatkan ke yang non-Kepmen,” ungkap Suko. Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengatakan, perlu pengawasan yang ketat dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dalam mengimplementasi pelaksanaan penyaluran gas yang harganya sudah dipatok pemerintah. Kementerian ESDM sudah mengontrol suplai dan harga dari sisi hulu. Namun ketika sudah di pengguna, maka itu menjadi ranah Kemenperin. “Kami ini perlu koordinasi yang baik dengan Kemenperin. Bahwa industri yang menyerap gas khusus melaporkan dampaknya selama setahun ini. Kalau 100 persen tidak terserap, melaporkan masalahnya apa. Saya setuju perlu evaluasi dengan Kemenperin. Karena itu ranahnya Kemenperin,” kata Tutuka. (de/qn) Sumber: Harga Sudah US$6 per MMBTU, Serapan Gas Industri dan Pembangkit Masih Memble

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: