Produk Secondhand yang Tetap Ngetren

Produk Secondhand yang Tetap Ngetren

Samarinda, nomorsatukaltim.com - Budaya thrift shopping, alias berburu barang secondhand kembali bangkit setelah 2010. Praktik jual-belinya pun banyak ditemui. Beberapa lapak di wilayah Kota Tepian nampak banyak peminatnya. Hingga akhirnya ada komunitas.

Ada tiga komunitas di wilayah Samarinda. Pasar Setan, Garage Second Market, dan Pasar Bekas. Pelaku penjualnya pun sudah bertahun-tahun. Dan pembelinya juga dari berbagai kalangan. Bayu Nugraha Alam salah satu pelaku penjual barang second di Samarinda. Ia menceritakan, customer-nya mulai dari kalangan bapak-bapak pekerja kantoran atau tambang. Anak muda alias kalangan milenial. Hingga ibu rumah tangga. Kata Bayu Nugraha Alam, memang secondhand lagi tren. Jenis-jenis pakaian yang diminat juga macam-macam. Bayu, sapaannya, menjelaskan era fesyen sekarang bergeser ke tren Korea. Beberapa jenis pakaian seperti oversized, work ware, memiliki fesyennya sendiri. "Kalau untuk pembeli, dari kalangan anak-anak sampai umur 50-60 tahun pun masih ada," ungkap Bayu, Minggu (27/12). Diakui Bayu, bantuan dari komunitas lain memang sangat membantu. Seperti jenis pakaian work ware. Di mana komunitas skaters yang membuat trennya naik. Jenis pakaian oversize, yang biasanya dipakai oleh komunitas penggemar tren Korea. Mengenai omzet, jualan seperti ini sangat lumayan. Apalagi dijadikan sebagai omzet saat pandemi. Bayu mengibaratkan, hasil jualan satu pakaian, bisa menutupi modal awal membeli tiga pakaian. Per bulan omzetnya jika rutin berjualan, terang Bayu, minimal Rp 9 juta bisa masuk kantong. Soal tren thrifting ditegaskan Bayu bukan musiman. Ia menyatakan, tren memang berputar, tapi untuk thrifting selalu berulang. "Makin banyak munculnya event, semangat anak-anak untuk ikut bergabung jadi penjual makin banyak," katanya. Bayu sudah menggeluti usaha ini sejak 10 tahun lalu. Bahkan rekannya ada yang sudah 18 tahun. Seller thrifting di Bumi Mulawarman diungkapkan Bayu sudah sangat banyak. Dari 3 komunitas, ada ratusan penjual yang masih belum diketahui di mana posisi pasti mereka berjualan. Kata Bayu lagi, semua itu didata. "Ada ratusan seller (yang belum masuk komunitas). Untuk yang 3 komunitas itu, ada ratusan sudah yang gabung," bebernya. Sebelum pandemi, event thrifting rutin dilakukan. Sebulan bisa tiga kali. Tujuannya tak lain sebagai bentuk silaturahmi antar penjual. Lalu saling melihat koleksi-koleksi yang dimiliki. Untuk dijual ke customer masing-masing. Jika ada event, lanjut Bayu menjelaskan, omzet rata-rata seller per hari bisa sangat tinggi. Dari Rp 3 juta bahkan ada yang Rp 9 juta per hari. "Bisa juga lebih, kuat-kuatan bawa barang aja sih. Semakin kuat bawa barang (ke event) bisa banyak (untungnya)," sambatnya. Mengenai persaingan, diterangkan Bayu tidak terlalu terasa. Sesama seller baju bekas, mereka saling merangkul. Kemudian, untuk seller baju clothing-an juga tidak saling sikut. Karena bagi Bayu, masing-masing sudah punya pasarnya sendiri. Makin Langka Kian Mahal Edy Gunawan juga ikut memberikan tanggapan. Ia juga penjual baju bekas branded di Samarinda. Dirinya juga sudah bergabung di salah satu komunitas. Ia terjun di dunia jual-beli baju bekas sejak 19 tahun lalu. Kata Edy, persaingan antar seller thrifting biasanya dari harga. Yang murah, bisa saja dapat barang dari pasar. Mereka dituntut harus jeli. Juga harus keliling tiap hari. Entah berburu secara online, atau langsung ke pasar buat memilih. "Di sini (Samarinda) ada beberapa tempat pasar loak (baju bekas). Di wilayah Kadrioening, Antasari, Samarinda Seberang, dan Pasar Pelabuhan," jelasnya. Edy Gunawan yang biasa dipanggil Aping ini menceritakan proses market memang terjadi. Asal ada kesepakatan antar loak pasar dan seller yang kembali menjual barang tersebut. Pekerjaan menjadi penjual baju bekas disampaikan Aping bisa turun temurun. Dirinya saja dulu berawal dari seorang pembeli biasa. Dan ikut komunitas motor. Ia kumpul bersama komunitas motornya, kemudian melihat koleksi baju yang digunakan teman-temannya. Saat itu, harganya mahal. Aping pun akhirnya mencoba iseng jalan-jalan berkeliling ke pasar baju bekas. Teman-temannya di komunitas pun tertarik. Lalu membeli ke dirinya. "Akhirnya berpikir, ya udah kalau begini jualan saja sekalian. Hunting itu esensinya ada. Dapat barang murah, dan original. Memang kita jual dengan harga lumayan, karena esensinya. Tidak semua mau duduk diam mencari di pasar," tegasnya. Penentu harga juga bisa dari kualitas. Bisa juga dari tanggal pakaian itu dirilis. Bisa juga dari kelangkaannya. Karena kadang dalam suatu waktu, hanya ada beberapa pakaian yang dirilis di tahun tertentu. Dan itu, kata Aping, terlihat estetik. Ada satu brand yang Aping pelajari dan ia gemari. Evisu, yang merupakan perusahaan pakaian desainer Jepang. Mengkhususkan diri dalam memproduksi pakaian denim. Melalui metode tradisional padat karya. Merek ini didirikan pada tahun 1991 di Osaka, Jepang oleh Hidehiko Yamane. "Sama customer saya, langsung di-posting di Facebook waktu itu. Saya di-notice karena koleksi saya banyak. Akhirnya saya diundang ke Jepang, untuk lihat perusahaannya," sambungnya. Suatu kehormatan bagi Aping. Beberapa logo Evisu ia dapatkan langsung dari pabriknya. Ada yang berinisial namanya bahkan. Aping berbagi cerita lagi, pengalamannya ke Jakarta menggunakan brand tersebut. Ia berjalan di satu mal di Jakarta, kemudian dilirik oleh Ari Lasso, salah satu penyanyi terkenal di Indonesia. Aping pun dilihat oleh penyanyi dengan single Jika tersebut. "Ya mohon maaf saja, kita cuma beli barang murah tapi original kok, situ artis, tapi zamannya sudah beda, kita lebih dulu," pungkas Aping mengakhiri sembari tertawa. (nad/eny)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: