Mufakat Kanjeng Sinuhun (19): Ujung-ujungnya Politik
Kanjeng Sinuhun babakbelur. Isi kantongnya terkuras habis. Yang lebih parah ini; karier politiknya tertunda. Terancam mandek. Ia harus menunggu momen berikutnya. Itupun jika arah politiknya berbalik menguntungkan dirinya. Namun ia tetap bersyukur, untuk sementara waktu bisa terbebas dari kasus yang melilitnya.
-----------------------
MUFAKAT KANJENG SINUHUN - Waluyo, mantan kepala Punggawa Militer Besar Regional 4 yang sudah pensiun, rupanya punya pandangan jauh ke depan. Ia bergabung dengan faksi politik penguasa Negeri Antahberantah, setelah pensiun itu. Sebagai orang politik, ia butuh orang kuat yang punya pengaruh di Regional 4. Khususnya di Kota Ulin. Agar kepentingan politiknya bisa berjalan sesuai harapan.
Begitulah karakter faksi politik di Negeri Antahberantah. Ideologisasi dan kaderisasi menjadi nomor sekian. Bahkan cenderung kurang diperhitungkan. Yang terpenting penguasaan atas akses ekonomi dan politik. Itu saja. Titik. Karenanya banyak para petinggi faksi adalah orang-orang pragmatis.
Ideologisasi dan kaderisasi hanya dilakukan di tingkat pelajar dan mahasiswa. Mereka diajarkan soal moral dan akhlak. Mereka diajarkan falsafah perjuangan. Hampir semua faksi politik memiliki organisasi sayap pelajar dan mahasiswa. Toh, para mahasiswa itu juga nantinya punya peran tersendiri dalam percaturan politik. Bisa dimainkan. Setidaknya begitulah yang terjadi di Negeri Antahberantah.
Kanjeng Sinuhun menjadi orang yang tepat. Ia memiliki pengaruh di masyarakat. Pengikutnya banyak. Loyalisnya kuat. Ini bisa dimanfaatkan untuk kemenangan faksi politik yang dipimpin Waluyo. Yah, Waluyo akhirnya menjadi ketua faksi politik penguasa di Regional 4.
Waluyo menyadari bahwa faksinya tidak terlalu kuat di Kota Ulin. Ada faksi lain yang lebih besar pendukungnya. Jumlah kursinya lebih banyak. Itulah faksi politiknya Kanjeng Sinuhun.
Faksi Waluyo di Kota Ulin kondisinya belum punya kader yang kuat. Secara keuangan dan ketokohan. Praktis butuh waktu beberapa periode untuk memunculkan kader yang memiliki dua keriteria itu. Apalagi ditopang dengan ini; punya modal yang juga kuat.
Menunggu bukanlah pilihan. Untuk menguasai Regional 4, Waluyo merasa harus menguasai Pemangku Kota Ulin. Itu bisa menjadi modal awal untuk menguasai Regional 4—yang membawahi 7 kota dan kadipaten. Itu targetnya.
Kenapa Kanjeng Sinuhun? Orang yang tengah terhimpit tentu lebih mudah dikendalikan. Kanjeng Sinuhun butuh pertolongan dari jerat hukum. Ia bisa membantunya. Mengamankan kasus itu. Ia punya akses ke kantor Punggawa Militer Pusat. Apalagi faksinya yang kini tengah berkuasa di Negeri Antahberantah. Tentunya bukan dengan cuma-cuma. Semua ada harganya.
Harga?! Ini tidak melulu soal uang. Tapi dukungan politik. Termasuk Kanjeng Sinuhun juga harus mengorbankan karier politiknya itu.
Waluyo menginginkan seorang kadernya untuk bersanding dengan wakil kepala Pemangku Kota Ulin, yakni Ahmad. Yang periode ke depan akan mencalonkan diri. Ahmad masih satu faksi dengan Kanjeng Sinuhun. Waluyo ingin agar kadernya bisa bersanding dengan Ahmad.
Kanjeng Sinuhun tak punya pilihan. Seperti terkunci di dalam lemari besi, kemudian kuncinya hilang di tengah laut. Ia menyanggupi untuk menjembatani jagoan yang disorong Waluyo itu. Apalagi Kanjeng juga sudah berjanji dengan Ahmad, bahwa dirinya tidak akan maju mencalonkan diri. Dan sebaliknya akan mendukung Ahmad. Yang penting, posisinya sebagai Kanjeng Sinuhun aman.
Dan Ahmad dianggap sosok yang kuat. Itu karena ia sekarang menjabat sebagai wakilnya Sultan. Namun selain itu, Ahmad juga memiliki modal besar. Latarbelakangnya yang seorang pengusaha sukses itu, membuat Ahmad ditaksir oleh beberapa faksi politik untuk dicalonkan menjadi kepala Pemangku Kota Ulin berikutnya.
“Jadi bagaimana saya pak?. Tolongin saya Jenderal”—Kanjeng Sinuhun memohon kepada Waluyo. Sambil kedua tanganya mengusap-usap paha kiri dan kanannya. Ia duduk tertunduk di kediaman Waluyo di Ibu Kota Negeri Antahberantah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: