PLN Butuh Dana Rp 100 Triliun

PLN Butuh Dana Rp 100 Triliun

Salah satu pembangkit EBT yang akan digunakan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Solar (PLTS). Dengan sumber gratis berupa matahari. Ditambah dengan investasi di baterai. Dengan begitu, BPP bisa jauh lebih rendah ketimbang menggunakan diesel.

“Biayanya pasti lebih murah dari diesel yang rata-rata Rp 4.000 per KWh. Karena biaya BBM-nya diangkut. Ada Rp 3.000 per liter. Itu biaya angkutnya saja. Belum harga BBM-nya. Jadi, betapa besarnya ini penghematan untuk negara. Dengan mengurangi impor BBM. Dan juga tadi menurunkan BPP serta memberikan listrik kepada masyarakat 24 jam,” kata Ikhsan.

Zulkifli menegaskan, program konversi pembangkit listrik tidak bisa berjalan sendiri. Ia mengklaim sudah banyak pihak yang ingin terlibat. Untuk melestarikan lingkungan. Dengan energi yang lebih bersih. “Karena kami sadari tidak bisa jalan sendiri. Dan perlu gandengan dengan pihak lain. Agar optimal,” kata Zulkifli.

STRATEGI PLN

PLN mendorong penggunaan energi rendah karbon yang ramah lingkungan. Khususnya dengan memanfaatkan EBT dalam penyediaan energi listrik.

Perusahaan pelat merah ini memiliki beberapa strategi. Untuk mendorong penggunaan EBT. Beberapa di antaranya dengan co-firing Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang telah beroperasi.

Selain itu, mereka memiliki program konversi PLTD menjadi Pembangkit Listrik Tenaga (PLT) Biomassa, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung. Dengan memanfaatkan bendungan-bendungan yang sudah ada. Untuk membangkitkan listrik.

“Kami berinovasi dan memanfaatkan potensi-potensi yang ada. Guna meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan. Kami sedang bekerja untuk merealisasikan target 23 persen untuk 2025,” ungkap Ikhsan.

Selain itu, Co-firing juga dikembangkan oleh PLN di beberapa PLTU. Seperti PLTU Paiton berkapasitas 2x400 MW. Menggunakan olahan serbuk kayu; PLTU Ketapang berkapasitas 2x10 MW, dan PLTU Tembilahan berkapasitas 2x7 MW. Menggunakan olahan cangkang sawit. Co-firing dilakukan dengan mencampurkan olahan tersebut sebesar 5 persen dari total kebutuhan bahan bakar.

Sementara untuk konversi dari PLTD ke PLT Biomassa, PLN mencatat terdapat 1,3 Gigawatt PLTD yang dapat dikonversi menjadi PLT Biomassa. Perusahaan listrik negara ini pun mendorong pembangunan PLTS Terapung berkapasitas besar. Dengan memanfaatkan bendungan-bendungan di Indonesia.

Sebagai contoh, pada Januari 2020, PLN telah menandatangani kontrak jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) dengan Konsorsium PT PJBI-Masdar. Untuk membangun PLTS Terapung di Cirata, Jawa Barat. Dengan total kapasitas mencapai 145 MW. Pembangunan PLTS ini akan dimulai pada awal 2021. Ini akan menjadi PLTS Terapung terbesar di Asia Tenggara.

“Kami berhasil mendapatkan tarif EBT yang murah. Yaitu sebesar 5,8 cUSD/kWh. Ke depan kami akan mendorong pembangkit seperti ini dan pastinya dengan harga yang lebih murah,” tambah Ikhsan.

Saat ini, PLN juga tengah mengembangkan Renewable Certificate Energy (REC). REC akan ditawarkan kepada pelanggan yang memiliki komitmen penggunaan EBT. Di mana setiap penggunaan 1 MWH EBT akan mendapatkan 1 unit REC.

Selain penyediaan listrik melalui pembangkit EBT, PLN juga menyiapkan infrastruktur untuk mendukung kehadiran kendaraan listrik. PLN telah melakukan inovasi menghadirkan Stasiun Pengisian Kendaraan Listirik Umum (SPKLU).

“Pengembangan energi baru terbarukan bukan semata pemenuhan target pemerintah. Tetapi dilakukan sebagai tanggung jawab PLN. Untuk generasi mendatang. Power beyond generations,” imbuhnya.

PLN pun optimistis bisa memenuhi target 23 persen pada 2025. Dengan memanfaatkan EBT dari sumber energi hidro, panas bumi (termasuk skala kecil/modular), biofuel, energi angin, energi matahari, biomassa dan limbah, dan lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: