Pandemi dan Kekerasan (Masih) Jadi Tantangan Pers
SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan Biro Samarinda menggelar web seminar (webinar), Jumat (23/10/2020). Diskusi tentang keselamatan jurnalis di tengah pandemi dan tahapan pilkada yang sedang berjalan.
Sebagai narasumber, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kaltim, dr. Nathaniel Tandirogang. Kemudian akademisi hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah dan Ketua Umum AJI, Abdul Manan. "Indonesia tertinggi se-Asia Tenggara, kasus positif COVID-19," kata Nathaniel, sebagai yang pertama menyampaikan materi diskusi. Dari paparannya, jumlah kasus positif virus corona di Indonesia per 22 Oktober, 377.351 kasus. Dengan persentase sembuh 79,8 persen. Dan meninggal 3,3 persen. Di Kaltim, jumlah terkonfirmasi positif pada 22 Oktober 12.480 kasus. Kasus terbanyak terjadi di September. Yakni 4.409 kasus. Kemudian Oktober ini, 3.826 kasus. Kemungkinan bertambah signifikan. Mengingat adanya hari libur yang cukup panjang di akhir bulan nanti. "Tidak menutup kemungkinan adanya penambahan-penambahan, ledakan (kasus)," katanya. Dikatakannya pula, kelompok yang paling banyak menyebarkan virus corona berada pada rentan usia 20-40 tahun. Perilaku disiplin terhadap protokol kesehatan kembali ditekankan. Termasuk kepada para jurnalis. Dalam melakukan peliputan, selain menerapkan protokol kesehatan, juga diperlukan pemetaan kondisi daerah liputan. "Jadi bisa liputan. Tapi tetap berhati-hati. Pahami kondisi lapangan (daerah liputan)," ucapnya. Herdiansyah Hamzah, akrab disapa Castro, bicara tentang kebebasan pers di tengah pandemi dan pilkada. Mengomparasikan tiga aspek yang menentukan kebebasan pers ---politik, hukum, dan ekonomi, dengan kondisi yang terjadi selama ini. "Dari data SAFEnet, sepanjang tahun 2019, terjadi 24 kasus pemidanaan menggunakan delik UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Media dan jurnalis menempati posisi pertama, dengan 8 kasus. Satu media dan 7 jurnalis menjadi korban," katanya. Tahun 2020, hingga September, tercatat ada 19 laporan yang masuk dan diadvokasi AJI. Dari jenis kasusnya, di antaranya didominasi kekerasan fisik, perusakan alat dan/atau data hasil liputan, ancaman kekerasan, dan teror. Pelakunya didominasi polisi. Selebihnya organisasi kemasyarakatan (ormas), pejabat pemerintah, warga, dan jaksa. Hingga orang tak dikenal. Dari aspek ekonomi, Castro bicara soal upah. Upah layak bagi jurnalis belum terwujud. Dan persoalan ketenagakerjaan juga menghantui para pekerja kuli tinta. "Tuntutan upah layak kepada pekerja pers ini, belum termasuk dengan situasi ketenagakerjaan di media. Selama tahun 2018 misalnya, LBH Pers menangani 11 kasus ketenagakerjaan di 7 perusahaan media," katanya, mengawali paparan intinya. Di tengah pandemi, dan tahapan pilkada yang terus berjalan, berdampak pada keselamatan jurnalis. Melakukan peliputan di tengah pandemi, mengakibatkan jurnalis rentan terpapar COVID-19. Mengingat, penyebaran virus tersebut belum mampu diatasi pemerintah. "Tentu membuat jurnalis rentan terpapar," katanya. Pandemi menjadi ancaman bagi jurnalis dalam melakukan kerja-kerjanya di lapangan. Tren perkembangan wabah dan proses tahapan pilkada yang berjalan, merupakan tak terpisahkan saat ini. Dalam konteks keselamatan jurnalis di tengah pandemi. "Kegiatan pemilihan kepala daerah, memberi banyak peluang pengumpulan massa. Meliputi kampanye, pemungutan dan perhitungan suara, rekapitulasi hasil perhitungan suara," kata Manan, menekankan ancaman keselamatan jurnalis dari jalannya tahapan pilkada. Kebijakan pemulihan ekonomi, juga bisa jadi ancaman bagi keselamatan jurnalis. "Menjadi ancaman potensial tersendiri," ucapnya. Manan menekankan, penerapan protokol harus benar-benar dilakukan. Tak hanya dari sang jurnalis, perusahaan juga perlu memperhatikan keselamatan jurnalis di lapangan.KEKERASAN DALAM PELIPUTAN
Kekerasan yang dialami jurnalis ketika melakukan kerjanya di lapangan, juga dibahas. Di antaranya, kekerasan yang dialami saat melakukan peliputan aksi demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja. Seperti yang terjadi kepada 5 jurnalis di Samarinda. "Data AJI tahun ini, jumlah kasus kekerasan akan naik cukup drastis. Kontribusinya, kekerasan terhadap jurnalis yang meliput (aksi) omnibus law," kata Manan. Dari data AJI, ada 28 kasus kekerasan wartawan yang terjadi dalam rentan 7-10 Oktober. Sebanyak 26 di antaranya, pelakunya merupakan polisi. Dua lainnya, terkena lemparan batu. Selain kekerasan, ada juga bentuk intimidasi. Yang dilakukan aparat kepolisian. Bentuknya, menghalang-halangi wartawan melakukan liputan dan penghapusan data liputan. Padahal, ancaman hukumannya jelas bagi mereka yang menghalang-halangi kerja jurnalis, dalam UU Pers. "Selama ini, sebagian besar kasus (kekerasan wartawan) tidak diproses hukum. Apalagi kalau pelakunya polisi," ujar Manan. Tantangan saat ini, memang, UU Pers melindungi para jurnalis dan kerjanya. Namun, kata Manan, yang melaksanakan penegakan terhadap UU itu adalah polisi. "Implementasi UU, hanya bisa dijalankan polisi. Yang jadi masalah, ketika pelakunya (kekerasan) adalah polisi. Bagaimana mereka bisa independen (menindak). Ini saya kira jalan buntu dalam proses penegakan hukum," katanya. Bagi Manan, dalam memberantas kasus kekerasan yang dialami jurnalis, dibutuhkan keberpihakan pemerintah. Ini juga kaitannya dengan UU Pers yang penegakannya dilakukan polisi. "Karena polisi langsung di bawah presiden. Kita dilindungi UU. Tapi yang menjalankan UU Pers adalah polisi," tuturnya. Agenda webinar yang berakhir sekitar pulul 17.00 Wita. Suksesnya agenda ini pun tak luput dari dukungan sejumlah pihak, diantaranya Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT), Pertamina Hulu Sanga sanga, dan Astra Motor Kaltim 2. (sah/zul)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: