Robby Sumampow
AKHIRNYA saya ke lapangan golf. Dan mengayunkan stik. Itulah untuk pertama kali, dalam hidup, saya mengayunkan stik golf. Aneh: kepala stiknya bisa mengenai bola. Bolanya pun bisa terbang cukup jauh.
Harian Disway-lah yang membuat saya ke lapangan golf. Untuk memenuhi permintaan rekanan, yakni pemilik lapangan golf itu: Bukit Darmo Golf (BDG) Surabaya.
Hari itu, Minggu lalu, ada pertandingan golf di situ. Harian Disway harus membuka acara itu. Saya datang lebih pagi. Agar pelatih di situ sempat mengajari saya memegang stik. Lalu cara mengayunkannya.
Baru tiga kali ayunan waktu pembukaan pun tiba. Maka saya lebih banyak berdoa daripada berusaha: ups… bisa juga.
Siangnya saya harus menyerahkan piala kepada para juara. Saya pun banyak mengobrol mengenai siapa pemilik lapangan golf itu. Yang belakangan sakit-sakitan.
Saya tahu bos di situ. Saya juga kenal adiknya. Bahkan saya hadir saat lapangan golf itu sedang dibangun. Bukan sebagai tamu, tapi sebagai wartawan. Itu sudah lama sekali. Tahun 1995.
Yang membuat proyek itu harus diliput adalah: kehadiran Panglima ABRI (kini TNI) Jenderal Benny Moerdani. Tapi kami tidak berani mendekat –apalagi minta komentarnya. Para wartawan, kala itu, sangat takut kepada Benny Moerdani.
Sikap Benny sangat dingin –kepada siapa saja. Wajahnya tidak pernah tidak serius. Tidak pernah terlihat tersenyum. Sikapnya tegas. Tapi juga proporsional.
Misalnya soal larangan Danramil dan Kapolsek memberikan wawancara pers. Benny punya alasan menarik.
“Kalian, wartawan ini, umumnya sarjana. Danramil dan Kapolsek itu (waktu itu) lulusan SD. Pasti jawaban mereka kurang bagus. Apalagi kalau kalian tekan-tekan,” ujarnya di suatu pertemuan dengan para pemimpin redaksi.
Saat meninjau lapangan golf itu rumornya sangat kuat: Benny Moerdani adalah sahabat baik pemilik lapangan golf tersebut. Yakni pengusaha Jakarta asal Solo: Robby Sumampow. Yang sehari-hari dikenal sebagai Robby kethek.
Kethek, dalam bahasa Jawa, berarti kera. Atau monyet. Saya pun mencari tahu mengapa pengusaha yang begitu kaya mendapat nama panggilan kethek.
“Itu karena Robby lahir di tahun kera,” ujar Didi Darwis, pengusaha besar Jakarta yang sama-sama punya leluhur di Hokja, Tiongkok.
Robby memang lahir di Solo tahun 1944. Tahun monyet. Saat itu ada pengusaha Solo lain yang juga bernama Robby. Yakni Robby Tjahjadi –pemilik pabrik tekstil yang sangat besar di Ungaran, dekat Semarang. Sama-sama asal Solo, sama-sama sukses, sama-sama Tionghoa, sama-sama punya nama depan Robby. Sejak itu nama panggilan kethek diberikan kepada Robby yang Sumampow.
Tapi bagaimana orang Solo punya nama belakang Sumampow?
Nama lahirnya adalah: Ie Kian Tiong. Waktu kecil Kian Tiong diambil anak angkat oleh seorang polisi asal Manado. Nama belakang polisi itu Sumampow. Ia tinggal di Solo. Tugasnya di kepolisian Solo. Dapat istri pun orang Solo.
Anak polisi Sumampow itu satu permainan dengan Kian Tiong. Bukan lagi teman sepermainan tapi sudah seperti saudara. Maka Kian Tiong dianggap sebagai anak Sumampow sendiri. Ketika orang Tionghoa Indonesia harus punya nama Indonesia, dipilihlah nama Robby Sumampow.
Adik bungsu Robby pun (dari 9 bersaudara) menggunakan nama yang sama: Hendro Sumampow. “Putra Pak Sumampow itu sekarang bersama kami di perusahaan kami,” ujar Hendro Sumampow yang menceritakan asal usul nama Manado itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: