Praperadilan Kasus Dugaan Korupsi KPU PPU Menunggu Putusan

Praperadilan Kasus Dugaan Korupsi KPU PPU Menunggu Putusan

PPU, nomorsatukaltim.com - Sidang praperadilan kasus dugaan rasuah di tubuh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Penajam Paser Utara (PPU) terus bergulir. Sejumlah saksi telah dihadirkan dalam sidang itu.

Masing-masing juga sudah memberikan keterangan. Jadwal sidang lanjutan dengan agenda kesimpulan juga sudah ada, hari ini (12/10/2020). Dan ditutup dengan sidang putusan, Selasa (13/10/2020). Praperadilan merupakan sidang maraton. Yang akan mencapai keputusan paling lama 7 hari kerja. Pemohon, S merasa keberatan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) PPU. Karena ditetapkan menjadi tersangka. Atas dugaan penyelewengan dana hibah pilkada PPU PPU 2018 itu. Ia menggugatnya ke pengadilan. Ada enam saksi dan satu ahli yang diundang Kejari hadir seluruhnya, Kamis (8/10/2020). Sementara saksi maupun ahli dari pihak pemohon tidak dapat hadir pada sidang. Alasannya karena faktor usia. Jadi keterangan hanya dibacakan saja. Enam saksi yang diundang kejaksaan, tiga di antaranya dari pihak KPU. Sebelum memberikan keterangan, mereka disumpah di depan hakim tunggal. Dari keterangan salah satu pejabat pengadaan, hanya 14 surat perintah kerja (SPK) yang dia ketahui. Yang telah keluar berdasarkan ketentuan. Atau melalui prosedur yang sesuai. Nilainya sekira Rp 700 juta. Sementara masih ada lima yang sama sekali tidak dia ketahui. "Saya mengetahui, ada lima SPK yang tidak saya tandatangani setelah diperiksa oleh kejaksaan," ucap perempuan berjilbab itu. Lalu tiga saksi lainnya merupakan kontraktor pekerjaan. Mereka para pemilik CV yang terlibat dalam pekerjaan pengadaan alat peraga kampanyenya. Dua di antaranya mengaku tidak mengetahui, bahwa CV yang mereka miliki menerima pekerjaan dari KPU. Setelah dipanggil jaksa sebagai saksi, ia baru tahu bahwa ada pekerjaan yang dilaksanakan atas nama CV miliknya. "Dan saya tidak pernah menerima uang sama sekali," ucap saksi itu. Saksi kedua juga sama. Menegaskan tidak pernah menerima uang atas pekerjaan pengadaan. Tapi ia mengakui sempat menandatangani SPK. Namun tidak dikerjakan. "Karena suvenir itu menunggu desain dari pemesan. Dan desainnya tidak pernah ada," jelas saksi kedua ini. Untuk saksi ketiga, mengaku menerima pekerjaan. Sebanyak dua kali untuk pengadaan spanduk. Namun pada pengadaan pertama ada yang aneh. Dalam SPK, nilai dan jumlah yang diadakan bertambah. "Saya sempat tanyakan kenapa? Katanya selisih harga untuk menutup pajak. Lalu untuk jumlahnya, untuk cetak spanduk tambahan," bebernya. Jumat (9/10/2020), Kejari PPU kembali menunjukkan alat bukti surat. Jumlahnya ada 68 item. Kuasa hukum S, Amrizal menyebutkan pihaknya tetap bersikukuh. Bahwa penetapan tersangka kliennya tidak berdasarkan aturan yang benar. Dalam fakta persidangan, pihak termohon sama sekali tidak menyebutkan atau menyerahkan alat bukti surat. Berupa kerugian keuangan negara. "Unsur kerugian keuangan negara yang di mana unsur tindak pidana korupsi, ya kerugian negara seperti yang saya jelaskan pada penjelasan kemarin," ujarnya. Dan lalu, mengenai penyampaian kerugian keuangan yang sempat disebutkan, yaitu terdapat kerugian sekitar Rp 300 juta. Pihak pemohon mengklaim tidak menemukan dalam fakta persidangan. Baik itu alat bukti surat maupun keterangan saksi yang telah dihadirkan termohon. "Karena yang berhak mengaudit dan menghitung kerugian keuangan negara ialah dari pihak yang memiliki kewenangan secara konstitusional," tegas Amrizal. Lembaga yang dimaksud yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, Inspektorat Jenderal KPU RI sebagai lembaga pengawasan internal KPU, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Jaksa yang hadir dalam persidangan itu ialah Arif Subekti. Ia adalah Kepala Seksi Pidana Umum (Pidum), mewakili Kejari PPU. Ia memaparkan, pihaknya bekerja sesuai dengan ketentuan. Untuk penetapan tersangka, sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 21 tahun 2014. Yang menyebutkan penetapan tersangka itu minimal ada dua alat bukti. Sesuai Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan tersangka atau surat petunjuk. "Sudah dijelaskan. Ada dua alat bukti. Ada keterangan saksi dan surat petunjuk," katanya. Sedangkan untuk kerugian negara itu, pihaknya masih dalam proses. Untuk menghitung. Lalu, menanggapi penyampaian kerugian yang sempat diutarakan Kajari. Bahwa pada 2019 lalu, BPK RI cabang Kaltim telah mendapatkan temuan. Besarannya sekira Rp 6,38 miliar. Karena tidak didukung dengan laporan pertanggungjawaban (LPj) yang sesuai. Jadi tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kemudian diverifikasi oleh Inspektorat KPU RI, sebanyak empat kali, hingga akhirnya dinyatakan kerugian negara menjadi Rp 0. “Tapi ternyata oleh kejaksaan masih ditemukan adanya potensi kerugian negara. Dengan contoh lima SPK (surat perjanjian kerja) tak bertuan itu. Sebagaimana hasil sidang praperadilan kemarin," bebernya. Pada intinya, pihaknya bekerja sesuai dengan ketentuan. "Biar pengadilan yang mengujinya," katanya. Untuk diketahui, S sejak 9 September ditetapkan menjadi tersangka. Berdasarkan temuan di atas. Pun telah dilakukan penggeledahan kantor 15 September. Ada sekira 102 item dibawa menjadi barang bukti. Dana hibah dari Pemkab PPU untuk gelaran Pilkada 2018 itu sekira Rp 26 miliar. Sekira Rp 5 miliar dikembalikan, sisa serapan anggaran. Sedangkan Rp 21 miliar telah habis digunakan. Namun dianggap Kejari tak bisa dipertanggungjawabkan. "Kita lihat hasil putusan pengadilan. Yang jelas perkara masih berlanjut," pungkas Arif. (rsy/zul)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: