Hukuman Kebiri

Hukuman Kebiri

Hukuman kebiri kembali viral di negeri ini. Pengadilan Negeri Mojokerto, Jawa Timur yang membuatnya menjadi rumpian lagi. Google Trend mencatat, lebih dari 100 ribu kali berita ini ditelusuri. Sampai Selasa lalu. Hakim di sana menjatuhkan hukuman kebiri. Hah? Itulah sebabnya mengapa kebiri menjadi perbincangan lagi. Tepatnya setelah majelis hakim PN Mojokerto untuk kali pertamanya di negara ini memberikan vonis hukuman tersebut. Yang dijatuhi hukuman adalah seorang terdakwa pemerkosa anak. Terdakwa itu bernama M. Aris. Umurnya 20 tahun. Predator anak ini juga diganjar pidana penjara 12 tahun. Tambah denda Rp100 juta --subsider enam bulan pidana kurungan. Aris, menurut majelis hakim, terbukti memperkosa 9 anak. Dalam kurun waktu tiga tahun. Dari 2015 hingga 2018. Saat melakukan aksinya, tak jarang Aris juga berlaku kasar. Bahkan, ia pernah merobek kemaluan salah satu korbannya. Dengan tangannya. Supaya alat kelaminnya bisa masuk. Topik hukuman kebiri pernah hangat. Dua tahun lalu. Tepatnya 25 Mei 2016.Yakni saat Presiden Jokowi menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2016. Itulah Perpu perubahan kedua UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ada dua pasal yang diubah. Yaitu Pasal 81 dan Pasal 82. Juga menambah satu Pasal 81A. Dalam Perppu itu diatur tentang hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal penjara 20 tahun dan minimal 10 tahun. Selain itu, ada tambahan tiga jenis hukuman, yaitu kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, dan pemasangan alat deteksi elektronik. Perppu itu akhirnya resmi menjadi undang-undang. Setelah disahkan melalui rapat paripurna DPR pada 12 Oktober 2016. Tapi sejak itu belum pernah ada hakim yang menjatuhkan hukuman kebiri. Baru vonis hakim PN Mojokerto itulah yang pertama. Tentu mengundang reaksi. Salah satunya dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Organisasi ini menolak jika ditugasi menjadi eksekutor. Sikap ini juga pernah dinyatakan IDI saat Perppu tersebut diwacanakan hingga disahkan menjadi undang-undang tiga tahun lalu. Mengapa IDI menolak jadi eksekutor? Ketua Biro Hukum dan Pembinaan Anggota IDI Nazrial Nazar menjelaskannya. Lihatlah video yang ditayangkan di kanal YouTube KompasTV. Ia mengatakan, persoalan utama IDI adalah kode etik. Ketika menjadi eksekutor hukuman itu seorang dokter melanggar kode etik. Ketika zat kimia kebiri disuntikkan kepada manusia, akan terjadi banyak efek samping. Di antaranya terjadi kegemukan yang luar biasa, wajah menjadi sembab, keluar keringat dari seluruh pori-pori, merusak ginjal, hingga menyebabkan keroposnya tulang. ”Jadi, walaupun itu atas nama hukuman, tapi itu penyiksaan! Kode etik tidak mengizinkannya,” tegasnya. Pendapat senada juga disampaikan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Budi Wiweko. Dikutip dari Kompas.com, dia mengatakan, pekerjaan seperti itu (kebiri kimia) bukanlah pekerjaan yang boleh dilakukan seorang dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Sebab, dokter terikat sumpahnya. Salah satu bunyinya menghormati makhluk hidup insani sejak pembuahan. Menurutnya, ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan digunakan untuk kemaslahatan atau kebaikan umat manusia. ”Saya pribadi menyatakan hal tersebut (kebiri kimia) tidak bisa dilakukan oleh seorang dokter ataupun tenaga kesehatan apapun,” tegasnya. Sikap IDI ini tentunya membuat pusing pihak kejaksaan. Vonis itu harus dijalankan jaksa demi menjalankan undang-undang. Padahal yang memiliki kompetensi dalam mengeksekusi hukuman seperti itu adalah dokter. Karenanya, kejaksaan harus meminta dokter yang melakukannya. Saya pun cukup bingung menyikapinya. Sebab, hukuman kebiri sudah menjadi undang-undang dan harus dilaksanakan. Sementara, dokter sebagai suatu profesi juga harus taat terhadap kode etiknya. Itu pun berlaku bagi jurnalis. Juga profesi lainnya. Karenanya, akankah UU bakal mengalahkan kode etik profesi kedokteran? Atau malah sebaliknya? Saya pun saat ini mungkin sama dengan Anda. Sama-sama menunggu siapa pemenangnya. Jangan-jangan tukang sunat. (Wirahadikusumah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: