Penilaian Berbasis Kompetensi terhadap Pendidikan Vokasi

OLEH: AGUSTINUS SETYAWAN*
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi (Ditjen Diksi) telah memulai gerakan “Pernikahan Massal” (link and match) antara pendidikan vokasi dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Tujuannya, agar menghasilkan lulusan dengan kualitas dan kompetensi sesuai dengan dunia usaha dan dunia industri. Dari beberapa skema link and match untuk mendorong terwujudnya program tersebut, terdapat beberapa poin yang merupakan paket minimum dan beberapa poin penting yang sangat diharapkan terwujud: terkait sertifikasi kompetensi bagi lulusan yang diberikan oleh pendidikan tinggi bersama dengan industri termasuk joint research yang berbasis terapan dari kasus-kasus nyata di industri.
Penyelenggaraan pendidikan vokasi perlu diselaraskan dengan dunia kerja. Sehingga kompetensi peserta didik dapat memenuhi tuntutan kompetensi di lapangan kerja. Untuk dapat mengetahui keselarasan tersebut, perlu dilaksanakan penilaian hasil belajar atau uji kompetensi terhadap capaian kompetensi peserta didik. Sesuai dengan tuntutan kompetensi yang dibutuhkan oleh lapangan kerja. Pengujian kompetensi pendidikan vokasi pada dasarnya merupakan bagian yang terintegrasi dari proses pembelajaran. Yang diarahkan untuk menilai peserta didik. Dengan memberikan evaluasi. Terkait proses belajar, kemajuan belajar, dan perbaikan yang dilakukan secara berkelanjutan (continual improvement).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2019 sebanyak 5,28 persen atau 7,05 juta orang. Berdasarkan data tersebut, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) memberikan kontribusi 10,42 persen dan lulusan Diploma 5,99 persen. Dari data tersebut, terdapat implikasi bahwa lulusan sekolah vokasi masih belum terserap dengan optimal di dunia kerja. Salah satu permasalahannya adalah kesenjangan (gap) kompetensi yang masih belum sesuai. Dengan yang dibutuhkan oleh pasar kerja. Sehingga menyebabkan kurang siapnya lulusan. Dalam menghadapi kondisi riil di dunia kerja. Dalam menghadapi permasalahan tersebut, maka perlu dipersiapkan tenaga kerja yang kompeten. Sesuai tuntutan dunia kerja. Yang dapat dimulai pada saat mereka menempuh pendidikan di sekolah vokasi. Melalui pengalaman belajar (teori dan praktek) serta melakukan keselarasan kurikulum. Sesuai dengan bidang keahliannya.
Pengembangan kurikulum pendidikan vokasi yang dirancang bersama dengan industri ini menggunakan pendekatan berbasis kompetensi. Sehingga sistem penilaian yang digunakan di sekolah vokasi juga harus mengacu pada model penilaian berbasis kompetensi. Dalam pelaksanaan penilaian kompetensi, diharapkan dapat melibatkan subject matter expert (SME) dari industri. Berperan sebagai pihak dari eksternal. Mengapa perlu melibatkan SME dari industri dalam pelaksanaan pengujian kompetensi? Karena pada akhirnya kompetensi yang telah dikuasai oleh para peserta didik harus mandapatkan pengakuan dari pihak calon pemakai tenaga kerja (potential user of manpower).
Banyak literatur dan pendapat dari para ahli terkait pengertian dari kompetensi. Secara umum, pengertian kompetensi merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang. Dalam melaksanakan suatu pekerjaan pada bidang tertentu. Ada juga pendapat lain yang mengatakan, kompetensi merupakan suatu pengetahuan, keterampilan, sikap dasar dan nilai yang terdapat dalam diri seseorang yang tercermin dari cara berpikir dan bertindak secara konsisten. Menurut Jack Gordon (1998), terdapat 6 aspek yang terkandung dalam konsep kompetensi: (1) pengetahuan (knowledge), (2) pemahaman (understanding), (3) kemampuan (skill), (4) nilai (value), (5) sikap (attitude), dan (6) minat (interest). Sehingga pengertian kompetensi merupakan gabungan antara pengetahuan (tahu tentang sesuatu), keterampilan (mampu melakukan sesuatu), dan atribut kepribadian/sikap seseorang (mau melakukan sesuatu) yang pada akhirnya dapat menghasilkan outcome.Seperti yang diharapkan oleh suatu organisasi.
Sebenarnya, dapat diberikan penegasan. Seseorang dikatakan mempunyai kompetensi tidak cukup hanya menguasai satu kemampuan saja. Misalnya kemampuan teknis (hard skills). Tetapi juga harus didukung dengan kemampuan di bidang non-teknis (soft skills). Karena kedua hal tersebut, antara hard skills dan soft skills, apabila dikembangkan secara simultan dan dapat berkembang secara merata, maka akan membuat seseorang lebih kompeten. Dalam melaksanakan pekerjannya. Sebagai sebuah ilustrasi. Apabila seseorang mempunyai keterampilan atau kecerdasan terhadap pekerjaan tertentu (hard skills), tetapi ternyata tidak mempunyai sikap atau attitude yang mendukungnya, tentu saja akan berpotensi menimbulkan persoalan. Maka secara ideal, seseorang dikatakan kompeten apabila hard skills dan soft skills yang bersangkutan mempunyai kompetensi.
Sehingga dapat ditegaskan bahwa seseorang pada dasarnya perlu mengembangkan 2 faktor yang berpengaruh terhadap kompeten atau belumnya seseorang: 1) kematangan tugas. Artinya seseorang mempunyai kemampuan dan pengetahuan yang berkaitan dengan bidang pekerjaan yang dijalankan. Tidak hanya sekadar tahu. Tetapi mampu untuk melakukan pekerjaan yang diketahuinya. 2) kematangan psikologis. Artinya, seseorang mempunyai semangat, keinginan, dorongan, motivasi untuk memperkuat apa yang diketahui dan dilakukan itu dapat berjalan dengan konsisten dan berkesinambungan.
Kematangan tugas dan kematangan psikologis ini benar-benar harus selalu dihidupi dan dikembangkan. Bukan hanya ketika seseorang sudah bekerja. Tetapi ketika menjalani proses pendidikan, ia sudah mulai membiasakannya.
PENTINGNYA KOMPETENSI
Seseorang dikatakan kompeten apabila mempunyai kompetensi yang dapat mendukung ketika yang bersangkutan menjalankan suatu aktivitas atau pekerjaan. Kompetensi yang dimiliki oleh seseorang tidak begitu saja melekat pada dirinya. Tetapi melalui proses yang cukup panjang. Bahkan latihan ataupun pengondisian. Sehingga terbentuklah kompetensi tertentu. Dengan kompetensi tersebut, seseorang diharapkan dapat berhasil ketika melakukan aktivitas atau pekerjaan tertentu. Definisi dari kompetensi memiliki implikasi yang sangat penting bagi pendekatan untuk menilai kemampuan seseorang. Sebab dapat mempengaruhi jenis informasi yang dicari. Untuk pendekatan dalam proses penilaian yang berdasarkan pengumpulan bukti yang tepat (evidence criteria) dan dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai seseorang apakah “sudah kompeten” atau “belum kompeten”.
Pada saat saya masih aktif bekerja di bidang konstruksi lepas pantai, jika mengikuti tender proyek baru, selalu muncul pertanyaan dari calon client/customer. Terkait sistem kompetensi. Misalnya, berapa skilled worker yang Anda miliki saat ini? Apa kompetensi yang dimiliki oleh masing-masing skilled worker tersebut (welder, fitter, rigger, operator dan lainnya)? Sistem apa yang Anda implementasikan untuk meyakinkan bahwa mereka kompeten? Dari beberapa contoh pertanyaan tersebut, dapat diartikan bahwa sistem kompetensi yang dibangun suatu perusahaan memiliki peran yang sangat penting. Juga sebagai salah satu jaminan (assurance) untuk mendapatkan pekerjaan/proyek baru. Dengan adanya tenaga kerja yang kompeten untuk mengerjakan proyek baru tersebut, maka calon client/customer tidak akan ragu lagi terhadap kualitas kerja yang akan diberikan. Hal ini juga akan berlaku untuk industri apa pun. Baik yang menghasilkan produk maupun jasa.
Selain berbicara mengenai kualitas kerja, kompetensi juga sangat erat kaitannya dengan produktivitas dan keselamatan kerja. Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli, produktivitas merupakan perbandingan antara hasil kerja (keluaran) dan sumber daya (masukan). Dalam hal ini, kompetensi kerja seseorang akan dapat memberikan pengaruh pada pencapaian kinerja dan produktivitas kerja. Demikian juga dengan kompetensi pekerja yang dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Terutama untuk jenis-jenis pekerjaan yang memiliki risiko tinggi. Misalnya seseorang yang bekerja di ruang terbatas/tertutup (confined space). Ia harus mengikuti pelatihan terlebih dahulu dan harus memahami kebijakan serta dasar-dasar K3, alat pelindung diri (APD), work permit procedure, identifikasi dan penilaian resiko (HIRA/JSA), karakteristik bahan kimia yang berbahaya, teknis pengukuran dan deteksi gas beracun, dan prosedur tanggap darurat. Jika seorang pekerja belum mengikuti pelatihan dan belum dinyatakan kompeten, maka tidak akan diizinkan untuk bekerja di area tersebut. Karena akan membahayakan dirinya. Juga orang lain di sekitarnya.
UNIT KOMPETENSI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: