Opini Pajak: Transfer Pricing Dilihat dari Aspek Perpajakan Indonesia

Direktorat Jenderal Pajak, melalui Surat Edaran Dirjen Pajak N0. SE- 04/PJ.7/1993 Tanggal 3 Maret 1993 menyebutkan bahwa kekurang-wajaran dari adanya praktek transfer pricing dapat terjadi atas :
- Harga penjualan
- Harga pembelian
- Alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost)
- Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan)
- Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya
- Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar
- Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center)
Berikut ini akan diberikan beberapa contoh dari kasus yang menyebabkan timbulnya kekurangwajaran yang timbul dari praktek transfer pricing.
1. Kekurang-wajaran harga penjualan
2. Kekurang-wajaran harga pembelian
3. Kekurang-wajaran alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost)
4. Kekurang-wajaran pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham.
5. Kekurang-wajaran pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan jasa lainnya.
6. Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham atau oleh pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar.
7. Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang tidak mempunyai substansi usaha (letter box company).
Untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak antara lain melalui penentuan harga yang tidak wajar (non arm’s length price), dalam perundang-undangan perpajakan telah terdapat ketentuan-ketentuan yang pada dasarnya memberikan wewenang kepada aparat pajak untuk melakukan koreksi terhadap transaksi-transaksi yang tidak wajar dengan pihak lain yang mempunyai hubungan istimewa.
Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Perpajakan No. 10 Tahun 1994 mengatur bahwa :
- Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan undang-undang ini.
- Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya deviden oleh wajib pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
- Besarnya penyertaan modal wajib pajak dalam negeri tersebut sekurang- kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor atau
- Secara bersama-sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah saham yang disetor.
- Dalam pasal ini berbunyi Direktur Jendral Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Perpajakan No. 10 Tahun 1994 mengatur bahwa :
- Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan undang-undang ini.
- Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya deviden oleh wajib pajak dalam negeri atas pneyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut :
- Besarnya penyertaan modal wajib pajak dalam negeri tersebut sekurang- kurangnya 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor atau
- Secara bersama-sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih dari jumlah saham yang disetor.
- Dalam pasal ini berbunyi Direktur Jendral Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Selanjutnya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perpajakan No. 11 Tentang Pajak Pertambahan Nilai, juga mengatur tentang transaksi yang berhubungan dengan transfer pricing. Pasal ini berbunyi: Dalam hal harga jual atau penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.
Dalam suatu grup perusahaan, transfer pricing sering disebut dengan istilah intracompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional pricing, dan internal pricing. Istilah tersebut menunjukkan bahwa pengaturan harga tersebut tidak sebatas kepada pengaturan harga antar-perusahaan dalam satu grup perusahaan saja, tetapi dapat pula terjadi pengaturan harga antara-divisi pada satu perusahaan.
Dalam satu lingkup grup perusahaan ataupun traksaksi antar negara hendaklah diamati biaya yang telah dibebankan untuk pengeluaran. Dikarenakan akan berdampak bagi pajak yang harus disetorkan sebagai pendapatan negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: