Pemikiran dan Corak Keislaman Sang Imam
Jakarta, nomorsatukaltim.com - Imam Besar atau Grand Syeikh Al-Azhar Ahmad Muhammad Ath-Thayeb mengunjungi Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, pada 2018. Dalam kunjungannya itu, Ath-Thayeb memperkuat Wasatiyyat Islam (Islam moderat) di Indonesia.
Kedatangannya disambut Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siraj. Dalam kunjungannya sekitar 1 jam lebih itu, dia menyoroti perkembangan Islam di Indonesia. Ia mengajak masyarakat menghormati perbedaan sosial. Karena pada dasarnya masyarakat diciptakan berbeda-beda.
“Saya datang memperkuat Wasatiyyat Islam di Indonesia. Islam yang tidak radikal. Tidak ekstremis. Apalagi teroris. Walaupun berbeda mazhab, mari kita bersatu. Jangan fanatic. Yang fanatik itu hanya umat yang awam. Harus diajarkan ke anak-anak kita,” katanya.
Ia juga menyoroti potensi perpecahan umat Islam. Lantaran kepentingan politik. Hal itu, kata dia, harus dihindarkan. Apalagi menjadikan tempat ibadah seperti masjid untuk menyampaikan pesan kepentingan politik.
“Itu harus dihilangkan. Agar umat Islam di Indonesia tidak terpecah belah. Apalagi karena kepentingan politik,” jelasnya.
Ia meminta seluruh umat muslim, khususnya Indonesia, tidak bersikap ekstrem. Seperti menilai kepercayaan serta pemikiran lain tidak tepat. Karena dapat memicu perpecahan.
Ia mencontohkan sejumlah penganut aliran salafi, sufi, takfiri, modernis yang saling bermusuhan dan menganggap kelompok lainnya kafir.
“Tidak boleh mengkafirkan orang yang salatnya sama dengan kita yang menghadap kiblat. Di mana jamaah ada yang mengkafirkan orang lain, itulah yang memperpecah ulama. Yang salah hanya mereka yang bilang kamu salah,” ujarnya.
Dalam kunjungan itu, ia juga sempat menyinggung adanya pertanyaan sikapnya dengan adanya seruan konsep khilafah yang diserukan sekelompok orang di Indonesia. Ia menegaskan, jika mayoritas muslim di Indonesia menolaknya, maka konsep itu harus ditolak.
“Umat Islam mayoritas menerima khilafah atau tidak, kalau tidak, maka tolaklah. Perdebatan itu menyita waktu. Mari kita menjadi Islam moderat,” ujarnya.
Said Aqil yang mendengar ucapan itu menanggapi, mayoritas umat Islam di Indonesia menolak konsep khilafah. Menurutnya, ideologi Pancasila yang dimiliki Indonesia bisa menjaga keberagaman suku dan agama. Dengan adanya Pancasila, kata Said, Indonesia bisa menjaga kerukunan umat beragama.
“Grand Syekh Al Azhar memiliki konsep moderat. Sama dengan PBNU. Islam moderat. Islam bukan ahli kekerasan. Kami punya pengalaman Pancasila yang manajemen keberagaman suku dan agama. Kok bisa bersama? Ya berkat pancasila,” tutur dia.
Ia menambahkan, Indonesia menjadi contoh yang baik lantaran sudah tuntasnya perselisihan antara Islam dan nasionalisme. Menurutnya, spirit Islam moderat menjadi modal kuat untuk menyatukan keagamaan dan kebangsaan.
“PBNU berharap posisi beliau (Imam Besar Ahmad Muhamad) sangat penting di Timur Tengah. Setidaknya di Mesir. Bermanfaat untuk mendiseminasi pemikiran-pemikiran Islam Wasatiyyah ala Nusantara. Sebagai inspirasi gagasan bagi peradaban yang lebih damai,” tambah Said.
Pada 2016, pemikir Islam Indonesia Zuhairi Misrawi merasa beruntung bisa berjumpa langsung dengan Ath-Thayyeb di Jakarta. “Saya lulusan Al-Azhar. Menulis buku tentang Al-Azhar. Ingin menghadiahkan buku ini kepada Yang Mulia. Saya bersama seorang jurnalis ingin mewawancarai Yang Mulia,” ujar Zuhairi kepada sang imam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: