Kelapa di Kaltim Tak Cukup untuk Diekspor

Kelapa di Kaltim Tak Cukup untuk Diekspor

Samarinda, nomorsatukaltim.com - Produksi kelapa rakyat Kalimantan Timur (Kaltim) semakin tahun semakin menurun. Padahal olahan kelapa dianggap paling banyak memiliki nilai tambah jika diolah dengan baik dan benar. Kepala Bidang (Kabid) Pengolahan dan Pemasaran Dinas Perkebunan (Disbun) Kaltim, Surya Dharma Herman mengatakan, ada 3 jenis perkebunan kelapa di Bumi Etam: kelapa kopyor, dalam, dan genjah. Namun dari ketiga jenis tersebut, semua bibitnya diambil dari luar wilayah Kaltim. Seperti kelapa kopyor, yang bibitnya dibeli dengan harga Rp 500 ribu per pohon. “Tidak banyak yang kita punya. Karena harganya lumayan mahal. Dan belum tentu juga (bisa diolah),” ucapnya saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (7/9). Perkebunan kelapa kopyor yang dimiliki Disbun Kaltim terdapat di kilometer 41. Perbatasan antara Samarinda dan Balikpapan. Sedangkan perkebunan kelapa dalam ada di wilayah Samboja. “Untuk olahan kelapa, belum ada eksportir yang mau. Kita hanya memenuhi kebutuhan dalam Kaltim saja,” terangnya. Kebutuhan serta produktivitas kelapa pun tidak terlalu banyak. Olahan kelapa kopyor hanya digunakan untuk minuman di beberapa rumah makan di Kaltim. Kelapa dalam juga hanya dijual oleh petani sebagai kelapa muda biasa. “Sekarang sudah tidak ada (eksportir). Terus untuk (olahan) yang dijadikan santan atau nata decoco dan dijual keluar juga sudah tidak ada,” lanjutnya. Surya menyebut, kebun kelapa masih dikelola oleh masyarakat. Kepemilikan kebunnya pun dari kelompok petani. Bukan dari perusahaan. Inovasi dan dukungan untuk petani kelapa terus diberikan Disbun Kaltim. Seperti melakukan peremajaan pohon kelapa, pemberian alat bantu, dan lain sebagainya. Karena itu, produksi kelapa di Kaltim cukup untuk konsumsi masyarakat. Tak bisa diekspor. “Kita hanya untuk konsumsi saja,” tambahnya. Masyarakat paling sering mengonsumsi kelapa dalam. Diolah menjadi kelapa muda. Kemudian dijual ke restoran dan perhotelan di Kaltim. Terkadang kelompok-kelompok tani yang langsung mengolahnya. Seperti kelompok tani di Balikpapan. Yang mengolah kelapa menjadi briket. Kabid Pengembangan Komoditi Disbun Kaltim, Siti Wahyuni, menyampaikan hal senada. Tanaman ini merupakan olahan rakyat yang memang harus berada di wilayah pesisir. “Seperti di Berau, Samboja dan Paser. Bantuan lahan hanya diberikan 20 hektare saja. Salah satunya perluasan lahan di Santan Tengah. Di Kukar. Dapat bantuan 2.000 bibit. Diberikan pupuk. Itu gratis,” jelasnya. Terpisah, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kaltim, Dayang Donna Faroek menerangkan, potensi kelapa dalam (buah kelapa besar) di Kaltim memang kurang. Lantaran soalnya penanamannya yang tidak pernah dimassalkan seperti di Sulawesi. “Seperti dibudidayakan. Itu tidak ada di sini. Sedikit,” ucapnya saat dihubungi melalui aplikasi pesan instan, Senin lalu. Perempuan yang biasa disapa Donna itu mengatakan, kendala harga lokal untuk buah kelapa segar yang tinggi juga terjadi di Kaltim. Sehingga pasar untuk ekspor menjadi kurang menarik. “Untuk perajin kopra, yang teridentifikasi di Handil Samboja. Itu juga cuma kapasitas kecil. Kalau dibanding perajin kopra di Sulawesi-Ambon,” katanya. Donna melanjutkan, produk turunan lainnya juga terkendala. Lantaran produk utamanya yang kurang dikembangkan. “Seperti olahan menjadi kopra, sabut, batok, maupun nata, terkendala karena kurang produknya,” pungkas Donna. (nad/qn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: