Mengurai Kelemahan Program Edi-Rendi (2)
Penurunan jumlah petani yang terus terjadi setiap tahun di Kukar bukan tanpa sebab. Selama ini sektor pertanian hanya menjadi pekerjaan sampingan untuk mengisi waktu luang bagi masyarakat. Karena sejauh ini sektor pertanian tidak bisa diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan tidak dapat dicapai jika tidak ada kebijakan yang berpihak kepada petani. Dalam mengatasi masalah pasar produk pertanian, resiko gagal panen yang hanya ditanggung sendiri oleh petani, serta lahan yang semakin sempit akibat saling berebut dengan pihak koorporasi perkebunan dan tambang. Sehingga menjadikan petani merana dan tak mempunyai masa depan yang cerah.
Keempat, Program 25.000 Nelayan Produktif. Memahami maksud terhadap konsepsi memang tidak mudah. Sehingga kadang kala banyak yang terjebak kepada pengertian yang keliru. Akibat berikutnya. salah menarik kesimpulan. Hal yang sama terjadi kepada konsepsi profesi yang sebenarnya melekat pada pekerjaan. Profesi petani, nelayan, dokter, seniman dan lainnya yang sejenis, betapa pun kecil yang mereka hasilkan, karena pada profesi tersebut melekat pekerjaan, maka tidak ada istilah yang tidak produktif. Pada profesi yang demikian, maka kita hanya dapat mengatakan mereka belum optimal dalam bekerja.
Program yang menyasar profesi nelayan dengan membangun asumsi tidak produktif, apalagi dengan menyebut jumlah sampai 25.000 orang, jelas telah menyesatkan publik. Membuat angka non-produktif sebanyak 25.000 nelayan jelas tidak berdasar dan mengada-ada. Kita akan sepakat jika dibuat program yang diarahkan untuk menciptakan 25.000 nelayan produktif. Artinya, dari tidak adanya profesi nelayan, kemudian dibekali dengan skill dan peralatan memadai, maka akan tumbuh profesi baru dari masyarakat non-profesi atau profesi non-nelayan menjadi nelayan, dan bekerja sebagai nelayan.
Kemudian program yang akan dijalankan pasti juga tidak banyak berbeda dengan bentuk program-program sebelumnya. Yakni memberikan bantuan alat tangkap, fasilitas kerja dan lainnya yang terkait peningkatan hasil tangkapan nelayan. Program ini bukan tidak penting. Tapi hampir seluruh tingkatan pemerintahan mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai desa/kelurahan melaksanakannya. Hanya saja narasinya yang dibuat seakan fantastis. Apalagi dengan menyebutkan angka 25.000 nelayan. Sama dengan program lainnya, penyebutan angka seperti itu bisa bermakna spekulasi atau diskriminasi. Dapat bermakna spekulasi ketika pembulatan jumlah menjadi angka tak lazim dalam kenyataan. Diskriminasi juga bisa terjadi jika jumlah nelayan tidak sebanyak itu. Tapi dipaksakan untuk melekatkan kepada pihak-pihak lain yang non-nelayan. Untuk dilabelkan sebagai nelayan. Atau bisa pula jumlah nelayan lebih dari itu. Tetapi kelebihannya tidak dijangkau dan dikecualikan dalam program ini.
Kalau mau memperbaiki kondisi nelayan, maka hal-hal yang harus diprogramkan adalah menyediakan mereka mitra bisnis yang menguntungkan. Baik dalam permodalan, harga yang pantas terhadap hasil tangkapan mereka, fasilitas-fasilitas yang didukung teknologi dan pembinaan-pembinaan terhadap masa depan profesi mereka, serta jaminan masa depan anak cucu mereka agar taraf hidupnya lebih meningkat.
Kita mengetahui bahwa problem yang dihadapi oleh para nelayan adalah terikat dengan sistem mitra yang berbau rente. Sehingga hasil yang mereka dapatkan sebesar apa pun ternyata tidak mampu meningkatkan kesejahteraan. Karena terbelenggu oleh sistem rente. Di mana harga jual tangkapan mereka sangat ditentukan oleh mitra pemberi peminjaman modal kerja. Mengapa praktik seperti ini terus terjadi? Hal itu terjadi karena pemerintah tidak pernah hadir dan abai terhadap nasib mereka. Hal demikian yang selama ini dialami oleh para nelayan. Terutama mereka yang berada di daerah pesisir.
Kelima, Program Gratis BPJS Kesehatan Keluarga Pra Sejahtera. Ada ungkapan yang sangat bagus dan tepat untuk kondisi sekarang dari almarhum Nurcholish Madjid, “Pada bangsa yang sudah berkeadilan, bahwa kaya dan miskin tidak akan bisa dihilangkan. Namun gap antara keduanya hanya terpaut tipis”. Kehadiran keluarga pra sejahtera dalam sebuah bangsa, dalam suatu daerah, menjadi indikator utama adanya diskriminasi atau ketidakadilan. Dan yang paling bertanggung jawab terhadap adanya ketidakadilan itu adalah pemimpin.
Program-program yang menyasar kelompok masyarakat pra sejahtera dengan segudang jaminan tertentu akan membuat kita pesimis. Program-program jaminan seperti itu bukan saja menjatuhkan citra sebagian kelompok masyarakat, juga tidak memberikan solusi yang baik bagi kondisi taraf hidup mereka. Apalagi jika ini disuarakan dalam kampanye politik. Komitmen keberpihakan seperti itu patut dipertanyakan kesungguhannya. Mengingat pengalaman-pengalaman yang lalu berakhir dengan pengingkaran-pengingkaran atau fasilitas yang tidak seideal yang dijanjikan. Sedikit saja pihak yang mampu mewujudkan komitmen tersebut sampai tuntas. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap janji itu sudah musnah.
Yang paling baik dan yang paling diharapkan masyarakat adalah program yang bisa membawa mereka keluar dari kondisi pra sejahtera. Sehingga ke depan tidak ada lagi kelompok masyarakat yang bisa dijadikan komoditi politik dan dijatuhkan martabatnya oleh oknum-oknum politisi.
Memang masih ada keluarga pra sejahtera. Karena itu, memberikan fasilitas jaminan kepada mereka adalah kewajiban setiap pemegang otoritas kebijakan. Membuat dan menyampaikannya dalam program politik bukan saja tidak etis bagi nama daerah, harkat dan martabat para keluarga pra sejahtera, juga tidak baik bagi harga diri para politisi yang terkesan mengeksploitasi nasib buruk orang lain.
Keenam, Program Kukar Peduli Lingkungan: 1 Juta Pohon. Program yang berfokus kepada penanaman 1 juta pohon akan menimbulkan asumsi bahwa masalah lingkungan yang terjadi di Kukar secara primer untuk diatasi hanyalah masalah gundulnya lahan-lahan. Padahal jika kita mau mencermatinya, problem utama lingkungan kita adalah kerusakan lahan akibat menganganya danau-danau eks tambang, pendangkalan sungai akibat erosi tanah lumpur buangan pertambangan, rawa-rawa mengering dan terganggunya habitat ikan di dalamnya. Masalah lahan gundul hanya menjadi bagian kecil dari masalah lingkungan.
Program penanaman 1 juta pohon bukan solusi yang tepat. Untuk mengatasi persoalan lingkungan di Kukar. Perlakuan mendesak dan lebih penting untuk memperbaiki kerusakan lingkungan saat ini adalah menimbun kembali danau-danau eks tambang dan pengerukan bantaran sungai. Bersamaan dengan itu, memperkarakan perusahaan tambang yang beroperasi tidak ramah lingkungan, menuntut eks perusahaan yang telah selesai izin tambangnya tapi abai dengan program reklamasi lahan, dan mengevaluasi perizinan perusahaan perkebunan yang tidak ramah lingkungan. Program-program itu yang lebih penting dan harus berani dikampanyekan oleh paslon jika memang serius untuk memperbaiki dan peduli dengan lingkungan.
Lebih jauh, jika ditilik dari kalkulasi perhitungan biaya, ketersediaan lahan, model kerja, efektivitas program penanaman 1 juta pohon biayanya sangat mahal. Penyiapan lahan yang rumit, efektivitas kerja dan keberhasilan program juga sangat sulit diwujudkan.
Biaya yang mahal dalam program ini bukan terletak di harga satu pokok pohon. Tapi pada biaya tanam. Karena tidak boleh dikerjakan asal gali tanah saja. Ada pupuk, biaya penyiraman, perawatan dari gulma, ganguan hewan dan penyakit pohon dan sebagainya. Tanpa perlakuan yang serius seperti itu, maka keberhasilan program ini tidak terjamin. Hanya membuang anggaran daerah secara sia-sia.
Untuk 1 juta pokok pohon penghijauan, maka penentuan jarak tanam juga harus terpola dengan baik. Minimal jarak tanam 1 pokok pohon dengan pohon yang lain idealnya sekitar 10 meter sampai 20 meter. Perhitungannya didapatkan untuk menanam 1 juta pohon dengan jarak tanam minimal 10 meter, maka dalam 1 hektare lahan hanya dapat ditanam sebanyak 100 pohon. Jika dengan jarak 20 meter, maka 1 hektare lahan hanya dapat ditanam 50 pohon. Dengan jarak tanam 10 meter, maka 1 juta pokok pohon membutuhkan lahan minimal 10.000 hektare. Apabila dengan jarak tanam ideal 20 meter, maka dibutuhkan lahan sekitar 20.000 hektare.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:

