Bankaltimtara

Bertahan di Tengah Genangan, Supriadi: Kalau Air Datang Lagi, Siapa Bisa Tahan?

Bertahan di Tengah Genangan, Supriadi: Kalau Air Datang Lagi, Siapa Bisa Tahan?

Warga Gang Tanjung Sari, Supriadi-Salsabila-Disway Kaltim

BALIKPAPAN, NOMORSATUKALTIM - Pagi itu, Kamis (19/6/2025), Balikpapan seolah dikutuk hujan yang tak henti turun sejak subuh.

Langit kelabu mencurahkan air tanpa jeda, menyelimuti kota dengan hawa lembab dan kecemasan yang mengendap di setiap sudut jalan.

Di Gang Tanjung Sari, Kelurahan Wonorejo, Balikpapan Utara, genangan air mulai merayap pelan. Mula-mula di jalanan, lalu menembus teras, dan akhirnya menyelinap masuk ke ruang-ruang rumah warga.

Bagi Supriadi (61), air itu bukan hanya genangan, tapi pertanda datangnya bencana kecil yang memporakporandakan rutinitas.

“Biasanya cuma sampai halaman. Tapi kemarin, semua ruangan tenggelam. Air setinggi pinggang,” ucapnya pelan, menunjuk bekas garis air di dinding ruang tamu rumahnya pada Jumat, 20 Juni 2025.

BACA JUGA : DLH Kutim Tanam 200 Pohon di TPA, Dukung Green Belt dan Peringati Hari Linkungan Hidup

Air mulai naik sejak pukul tujuh pagi dan baru benar-benar surut menjelang malam. Sekira sepuluh jam lamanya, kawasan itu berubah menjadi kolam yang tak bertepi.

Sebelum ketinggian air mencapai titik tertinggi, Supriadi sempat menyelamatkan barang-barang penting. Sepeda motor ia dorong ke halaman depan yang sedikit lebih tinggi.

Namun, sebagian besar barang lain tak seberuntung itu terendam, rusak, atau tak lagi bisa digunakan.

Kasur besar bersandar di teras, masih basah dan berat. Pakaian dijemur seadanya, karpet dan alat-alat rumah tangga teronggok di pojok. Bau lumpur masih menyengat, menempel di lantai dan dinding, menyisakan aroma lembab yang sulit diusir.

“Kebanyakan sudah lembek. Tidak bisa dipakai,” katanya, pasrah.

Sejak air surut, Supriadi dan keluarganya tak henti membersihkan rumah. Mereka bekerja dari sore hingga lewat tengah malam. Lumpur menempel di lantai dan dinding, menyisakan aroma pengap yang masih melekat hingga kini.

BACA JUGA : Masih Banyak Kuota Tersisa di Tahap Satu SPMB SMA di Botang

“Jam satu kami masih bersih-bersih, angkat barang. Baru bisa tidur menjelang subuh,” ujarnya.

Banjir memang bukan tamu baru bagi warga Gang Tanjung Sari. Namun kali ini, ukurannya lain. Besarnya berbeda. Ia mengingat banjir besar terakhir terjadi 2005. Setelah itu, hanya meninggalkan genangan sebatas halaman. Tapi Kamis kemarin, air menjebol semua batas.

"Sejak tinggal di sini, ini yang paling parah. Dulu-dulu banjir, iya. Tapi tidak pernah sampai ke dalam rumah seperti ini," kenangnya.

Menurut Supriadi, bukan semata karena hujan deras, tapi banyaknya bangunan baru dan saluran air yang tak lagi memadai ikut memperparah keadaan.

Tanah kosong yang dulu jadi tempat resapan, kini sudah berubah menjadi deretan bangunan permanen.

BACA JUGA : DPRD Kaltim Dorong Perusahaan Dukung Pendidikan Melalui Living Cost Demi Tingkatkan Angka Usia Pendidikan

“Saluran mampet. Dulu masih ada lahan kosong. Sekarang air enggak tahu ke mana,” keluhnya, menatap ujung gang yang perlahan mulai kering.

Tiga rumah di sekitar tempat tinggalnya mengalami nasib serupa. Rumah sang adik di belakang, rumah kerabat di depan, dan rumahnya sendiri. Semua digenangi hingga ruang dalam.

Kini, halaman rumahnya menjadi ruang pengeringan darurat. Kasur disandarkan di dinding, pakaian tergantung di tali jemuran, dan karpet dijemur di atas kursi plastik.

Suasana serupa terlihat di banyak rumah sekitar, warga saling membantu, menata ulang sisa-sisa barang yang masih bisa diselamatkan.

Meski tidak ada korban jiwa, kerugian material jelas terasa. Namun bagi Supriadi dan warga lain, kehilangan itu bukan soal uang, melainkan kehilangan kenyamanan dan rasa aman di rumah sendiri.

BACA JUGA : Harapan Sekolah Swasta di Samarinda, Ingin Buku Gratis juga dari Pemerintah

“Ya pelan-pelan saja dibereskan. Yang penting rumah bisa ditempati lagi,” tuturnya.

Kepada pemerintah, Supriadi berharap bukan hanya bantuan darurat, tapi juga solusi jangka panjang. Saluran air yang tersumbat, bangunan liar, dan tata ruang kota yang semakin sesak oleh beton menurutnya menjadi masalah serius yang harus dibenahi.

“Kami cuma bisa bertahan. Tapi kalau air datang lagi dan saluran tetap mampet, siapa yang bisa tahan terus?” pungkasnya, dengan nada letih namun penuh harap.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: