Sebelum kasus OTT yang melibatkan dinasti politik di Kutim, setidaknya sudah terdapat sekurang-kurangnya enam dinasti politik yang terlibat dalam pusaran korupsi. Antara lain Ratu Atut Chosiyah di Banten, Syaukani Hassan Rais di Kutai Kartanegara, Atty Suharti di Cimahi, Fuad Amin Imron di Bangkalan, Sri Hartini di Klaten, dan Yan Anton Ferdian di Banyuasin. Dalam konteks kasus Kutim, politik dinasti menyebabkan fungsi pengawasan DPRD terhadap pemerintah daerah menjadi lumpuh. Dalam kondisi demikian, kejahatan korupsi akan terjadi secara brutal. Tanpa kendali dan kontrol.
Politik dinasti dan korupsi adalah dua hal yang sulit dipisahkan satu sama lain. Keduanya saling bertalian. Melalui politik dinasti, penumpukan kekuasaan akan terjadi hanya kepada satu kerabat. Bahkan kendali kuasa ini akan menjangkau semua hal. Mulai dari penguasaan sumber daya ekonomi, penguasaan partai politik, penguasaan jabatan-jabatan strategis birokrasi, hingga penguasaan terhadap oraganisasi kemasyarakatan yang strategis.
Lantas, siapa yang mengawasinya? Ketika kekuasaan berjalan tanpa kontrol, maka niscaya kejahatan korupsi hanya persoalan waktu saja. Karena itulah, politik dinasti harus kita putus dalam rantai politik kita. Dalam fase awal, kontrol dan pengawasan yang ketat terhadap daerah-daerah yang sarat dengan politik dinasti harus dilakukan terlebih dahulu.
KPK dalam berbagai forum dan kesempatan menegaskan bahwa politik dinasti di daerah-daerah akan menjadi atensinya. Mengingat politik dinasti memyimpan kecenderungan untuk memiliki atau meraup kekayaan di wilayah dalam kewenangannya. Sebab politik dinasti melapangkan jalan korupsi! (*Sekretaris Pusat Studi Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman)