Hoaks di Pilkada dan Peran Purifikasi Penyiaran

Selasa 07-07-2020,11:52 WIB
Oleh: bayong

Nilai-nilai itulah yang menjadi guidance bagi lembaga penyiaran dalam meneguhkan integritas. Akibatnya sangat fatal apabila lembaga penyiaran mencoba bermain api dengan menyebarkan hoaks. Selain akan dijerat sanksi yang berat, juga berisiko ditinggalkan oleh pemirsanya. Industri informasi merupakan bisnis kepercayaan. Sekali konsumen kecewa, mereka beralih ke pilihan lain.

Kedua, tracking dan publikasi hoaks. Selama penyelenggaraan Pilkada berlangsung, lembaga penyiaran dapat menyediakan slot khusus. Berupa program layanan publik untuk memverifikasi dan meng-counter apakah suatu informasi yang beredar luas dan heboh mengandung hoaks atau bukan. Ragam informasi hoaks dapat dihimpun melalui berbagai sumber. Baik melalui penelusuran yang dilakukan oleh lembaga penyiaran secara mandiri maupun melalui data/temuan dari lembaga otoritatif yang concern menangani hoaks. Seperti kepolisian, Diskominfo, dan seluruh jaringan anti hoaks. Masyarakat juga dapat turut andil untuk melaporkan potensi hoaks yang ditemukan mengenai Pilkada/kandidat lewat hotline yang tersedia.

Ketiga, menggiatkan literasi digital.Sebagai upaya membangun kecerdasan dan kewaspadaan publik dalam bermedia, lembaga penyiaran dapat menggiatkan program literasi digital. Literasi digital merupakan pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam membina komunikasi dan interaksi (Tim GLN Kemendikbud: 2017).

Secara praktis lembaga penyiaran dapat menggelar program dialog atau talkshow dengan mengundang akademisi, guru, kepolisian, asosiasi media/profesi kewartawanan, praktisi media sosial, dan pegiat literasi digital. Untuk mengedukasi publik. Agar cerdas memilih media dan kritis terhadap hoaks. Publik setidaknya dapat memahami seperti apa karakteristik media yang aman dijadikan rujukan. Misalnya harus terdaftar di Dewan Pers dan memiliki standardisasi sesuai Surat Edaran Dewan Pers. Dari aspek konten, pemberitaan media tidak berisi fitnah dan hasutan, memiliki sumber yang jelas, serta bersifat mendidik dan mencerdaskan.

Memasuki Pilkada, kerap bermunculan akun-akun anonim dan kloning membanjiri media sosial. Media cetak dan media online pun demikian. Dalam Pilkada, kita sering menjumpai media-media baru yang tidak jelas asal-usul, tidak jelas pengelolaannya, alamat perusahaan, serta belum terdaftar. Media-media yang muncul di musim politik biasanya mempunyai misi khusus. Dalam konteks inilah kemampuan literasi digital dibutuhkan.

Keempat, menyorot penegakan hukum. Lembaga penyiaran dapat mendorong penegakan hukum yang tegas dan independen. Penindakan hukum tidak boleh lunak apalagi inferior menghadapi pelaku pelanggaran. Siapa pun pihak yang terbukti menjadi produsen hoaks wajib disanksi dengan tegas. Proses penegakan hukum harus dikawal tuntas dan dipublikasi intensif. Agar memberi efek jera.

Melawan hoaks sepatutnya menjadi tugas kolektif. Hoaks Pilkada semakin tidak bertempat jika lembaga penyiaran beserta media lainnya bergerak serempak. Kita bisa mewujudkan kontestasi Pilkada yang sehat dan bersih tanpa hoaks. Yakin bisa! (*Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Kaltim)

Tags :
Kategori :

Terkait