Hafidz Ary Nurhadi, anak Institut Teknologi Bandung (ITB) punya ide pool test Covid-19. Gagasannya itu sudah ditulis dalam catatan harian Dahlan Iskan edisi 24 April. Jika gagasan itu dilakukan, maka tidak perlu lagi yang namanya lockdown, PSBB atau semacamnya itu. Apakah bisa direalisasikan di Kalimantan Timur? ---------------- ALUMNUS ITB tahun 1998 jurusan teknik elektro ini, memegang kuat matematika dan algoritma. Ide dasarnya: jangan sampai yang tidak kena COVID-19 ikut terkarantina. Seperti sekarang ini. Dampaknya cukup dirasakan di sektor ekonomi yang melambat. Selama ini, penanganan yang tidak bervirus diperlakukan seperti ber-Covid. Akhirnya semuanya macet. Semua tersiksa. Sampai tidak boleh mudik --hanya boleh pulang kampung. Dasar pemikirannya juga sama: penanganan terbaik COVID-19 adalah semua penduduk dites swab. Menurut Hafidz itu tidak realistis. Mahalnya bukan main. Alat untuk mengambil mukus sendiri sebenarnya murah. Mukus itu bentuknya lendir. Diambil dari bagian yang sangat dalam di dalam hidung. Di dekat tenggorokan. Mukus itu lantas diproses. Proses itulah yang mahal. Satu orang bisa Rp 1 juta. Satu kota Jakarta bisa Rp 12 triliun. Pertama, mukus itu harus dimasukkan ke dalam cairan VTM --virus transfer medium. Berarti harus membeli cairan VTM itu. Yang harganya mahal. Mukus yang sudah bercampur VTM dimasukkan ke reagen. Berarti harus membeli reagen. Yang harganya juga mahal. Mukus dari satu orang itu, dimasukkan VTM yang khusus disediakan untuk satu orang itu. Dimasukkan lagi ke reagen yang juga khusus untuk satu orang itu. Ide Hafidz tes itu jangan dilakukan orang per orang. "Itu bukan ide saya. Tapi saya membuat modifikasinya. Ide asalnya sendiri dari Jerman," ujar Hafidz. Dalam idenya itu, menurut Hafidz, tes bisa dilakukan per lokasi besar. Misalnya Pulau Bali atau Lombok. Ini bisa jadi satu lokasi terpisah. Menurut Hafidz semua orang di satu wilayah yang sudah ditentukan harus diambil mukus mereka. Sekali ambil untuk dua sampel. Mengambil mukus sekaligus untuk dua sampel hampir tidak menambah kesibukan. Maupun biaya. Maka ambillah tiap orang dua sampel mukus. Jangan hanya satu sampel. Bagilah satu pulau atau satu kabupaten ke dalam wilayah-wilayah terkecil. Baiknya, wilayah kecil itu adalah satu RT. Maka tiap RT di satu kabupaten menjadi satu pool terkecil. Mukus semua warga RT itu diambil bersama-sama --mungkin perlu waktu tiga jam. Untuk satu RT –katakanlah 150 orang-- hanya diperlukan VTM satu unit. Mukus orang satu RT dimasukkan ke satu VTM saja. Berikutnya VTM yang sudah tercampur mukus orang satu RT itu dimasukkan reagen. Kalau hasilnya positif, barulah satu RT itu di-lockdown. Atau di PSBB. Kalau hasilnya negatif berarti satu RT itu negatif semua. Merdeka! Menanggapi hal itu, Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi, saat dimintai tanggapannya soal metode ini menyatakan, jika hal tersebut bisa saja diterapkan. Meski dirinya tidak menguasai teknis kesehatan. "Saya tidak menguasai teknis kesehatan, silakan ke Bu Dio, dia yang tahu. Tapi kalau ada contoh-contoh baru, temuan baru dalam hal teknis kesehatan memang kita hati-hati," ujarnya. Menurut Rizal, sejauh ini gagasan untuk pemeriksaan COVID-19 masih terus dilakukan oleh pemerintah. "Tapi gagasan-gagasan seperti itu baik saja, nanti kita kaji juga. Kan semua penangan belum ada yang baku, masih selalu digunakan terus mana yang cepet mana yang akurasinya deket," jelasnya. Namun tanggapan berbeda disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Kota (Diskes) Balikpapan, Andi Sri Juliarty atau yang biasa disapa Dokter Dio. Ia menyatakan dari kacamata medis jika metode tersebut sangat tidak mungkin dilakukan, bahkan cenderung sulit dilaksanakan. "Mengeluarkan lendir atau mukus di lapangan tidak gampang, lebih bagus semua masyarakat di-screaning dengan rapid test, kan ambil darah selesai. Kalau ada yang positif bisa langsung di swab," ujarnya. Bahkan menurut Dio, hal terburuk bisa terjadi jika dilakukan metode seperti yang diinginkan alumnus ITB tersebut. Pasalnya dengan dilakukan pemeriksaan mukus satu kelompok dapat menularkan penyakit. "Kalau massal bisa berisiko terhadap penularan penyakit lain. Misalnya TBC, kalau satu ruangan diperiksa dengan mengambil mukusnya, ini sangat rentan tertular yang lainnya loh," jelasnya. Dio memilih menggunakan metode rapid test jika ingin mengetahui suatu kelompok terdapat yang positif atau negatif. "Kalau saya lebih baik rapid, ini mudah dan cepat. Jika ada indikasi baru kita swab," tutupnya. KALTIM SUDAH TERAPKAN VTM Virus transfer medium (VTM), rupanya sudah digunakan Kaltim untuk melakukan pengujian COVID-19. Tapi, alat ini jumlahnya masih sangat terbatas. Pasalnya, masih mengharapkan pemberian dari pemerintah pusat melalui tim gugus tugas percepatan penanganan virus corona RI. Tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dari jumlah orang dalam pantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP). Serta pasien yang telah dinyatakan positif. Untuk mengetahui apakah pasien tersebut sudah sembuh atau belum. VTM sendiri merupakan media sejenis tabung yang digunakan untuk meletakkan spesimen, yang diambil dari pasien menggunakan metode swab. Dengan alat itu, swab dibawa ke laboratorium pemeriksaan untuk diketahui apakah positif atau negatif corona. Plt Kepala Dinas Kesehatan (Diskes) Kaltim Andi M Ishak Mengatakan, VTM walaupun selalu diberikan oleh pemerintah pusat, tapi tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan di Bumi Etam. Untuk itu, Diskes berencana untuk melakukan pembelian sendiri dengan jumlah besar. Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi jumlah ODP dan PDP. Karena harus dilakukan pengambilan sample tidak hanya sekali. Tapi, berulang kali. Itupun, harus setiap hari. Memang perlu banyak VTM. Untuk satu orang saja, dibutuhkan sampai 12 VTM. “Alat ini dibilang murah saja tidak, dibilang mahal juga tidak. Sekotak isinya 50 pieces itu bisa saja harganya kisaran Rp 3 juta. Kurang tahu harganya sekarang berapa. VTM kita memang masih disuplai dan di-support pusat. Terkait harga, memang VTM masih lebih murah ketimbang PCR,” katanya saat dihubungi Disway Kaltim, Senin (27/4). Sebenarnya, satu sample saja bisa mewakili kelompok kecil. Seperti contoh RT. Tapi, itu dapat terealisasi ketika Kaltim sudah menerapkan karantina wilayah. Tapi, Bumi Etam belum menerapkan hal tersebut. “Artinya semua swab itu dimasukkan ke dalam satu VTM. Semua sampel yang ada di RT itu. Jika ada salah satu yang positif, ada kemungkinan warga lain pun terindikasi positif. VTM itu ada dua, ada yang keseluruhan. Serta ada juga yang satu-persatu. Tapi itu juga kalau VTM kita cukup. Ini rapid test saja tidak cukup bagaimana VTM,” pungkasnya. (mic/dah)
Pilih Rapid Test Ketimbang VTM, Penanganan COVID-19 di Kaltim
Jumat 01-05-2020,13:41 WIB
Editor : Benny
Kategori :