Rekayasa Tuhan di COVID-19

Selasa 28-04-2020,12:10 WIB
Reporter : bayong
Editor : bayong

OLEH: ICHWAL SETIAWAN (WARTAWAN DISWAY KALTIM) Sampai hari ini pandemi COVID-19 sudah menewaskan 743 orang. Itu masih di Indonesia. Dalam skala internasional, jumlah kematian sudah nyaris setara penduduk Bontang. Mengerikan. Situasi semakin mencekam. Tapi orang-orang masih seliweran. Berkumpul. Anak muda rokok bareng. Ngopi rame-rame. Main PUBG atau Mobile Legend. Seru-seruan. Seolah tak ada pandemi. Tak berbeda. Kelompok dewasa masih keluar bebas. Tanpa masker. Pola hidup masih seperti biasa. Tak ada yang berubah. Kalau toh ada, hanya sementara. Beberapa hari saja. Lalu kembali lagi. Ada yang peduli. Patuh dengan protokol kesehatan, physical distancing, hidup sehat, dan isolasi selepas dari luar. Tapi tak banyak. Hanya segelintir. Mereka tetap harus bekerja. Mencari makan, memastikan alat-alat produksi tetap bergerak. Agar ekonomi tak luluh lantak. Ada sebagian masyarakat intens membaca berita di media sosial. Semua tentang virus Sars-Cov-2. Korban berjatuhan, penyebab kematian, dan update jumlah pasien positif. Mereka hafal perkembangan kasus tiap hari. Tiap jam.  Media sosial memang gudang informasi. Apa saja ada di dalamnya. Semuanya ditelan mentah-mentah. Mereka lebih cerdas ketimbang para medis. Lebih hebat dari ahli virus. Mampu memprediksi kejadian. Tanpa data. Hanya terima informasi. Entah benar atau salah. Asalkan informasi, semua dianggap benar. Kejadian di beberapa daerah, jenazah ditolak oleh warga ramai-ramai, mereka lebih paham metode penularan. Ketimbang ahli virus, paramedis, dokter yang sekolah bertahun-tahun. Menempa ilmu, biaya, dan energi. Vonis medis di tangan kiri. Bisa jatuh kapan saja. Sesukanya. Asal ada data (informasi), sudah cukup menyatakan itu salah. Tanpa cross check. Tapi bahaya baru muncul. Ada orang-orang yang terjangkit COVID-19. Tapi takut dengan tekanan sosial. Takut di-bully. Akhirnya menyimpan rahasia. Tetap beraktivitas seperti biasa. Tanpa khawatir menularkan virus ke orang lain. Ia memilih “pura-pura” seperti tak ada apa-apa. Bukan karena sengaja. Tapi karena takut. Takut persekusi. Kepalanya sudah penuh dengan kabar kabur. Sekarang mari kita sama-sama perbaiki semua. Kita. Bukan mereka semua pihak, pemerintah, takmir masjid, pengurus gereja, rumah ibadah, atau pedagang kaki lima. Semuanya. Pemerintah buka data ke publik. Masyarakat harus cerdas bersikap. Siapa yang terjangkit, di mana lokasinya, warna apa rumahnya. Orang-orang ODP dan OTG butuh dukungan moril. Kita harus turun aksi. Berikan layanan terbaik selama mereka tetap mengisolasi diri di rumah. Supaya kita bisa ikut membantunya. Kita patungan. Semua warga urunan. Siapkan kebutuhan pokok. Supaya dia tak perlu keluar rumah untuk belanja. Minta uang ke masing-masing warga mampu. Kas masjid atau rumah ibadah belanjakan untuk mereka. Orang-orang kaya bersedekahlah, yang tak mampu cukup berikan dia motivasi. Ajak bicara melalui ponsel. Kirimi dia kalimat-kalimat positif setiap hari. Silaturahmi terjaga. Mungkin begini rekayasa tuhan supaya kembali menjadi manusia. Khalifah sesungguhnya. (qn)

Tags :
Kategori :

Terkait