Kembangkan Benih Adaptif dengan Iklim Lokal

Kamis 26-03-2020,13:32 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

GURU Besar Universitas Mulawarman (Unmul) Profesor Rusdiansyah, optimistis Kaltim akan mampu mewujudkan ketahanan pangan bagi ibu kota negara (IKN) pada 2024. Bahkan, Dekan Fakultas Pertanian ini memprediksi hal itu dapat terwujud di tahun 2022, jikalau pemerintah mampu mengambil lagkah tepat di tahun ini. "Kaltim ini daerahnya spesifik. Sampai kiamat, kita tidak akan pernah menyamai produksi padi di Jawa. Itu, perlu dicatat. Agar mindset pengambil keputusan di Kaltim ini tahu. Bahwa Kaltim ini berbeda dengan di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Meskipun yang nanam orang Jawa, Sumatera, Sulawesi," ungkap akademisi yang telah lebih dari 40 tahun bergumul dengan petani padi di Kaltim ini. Kemudian, kebutuhan pangan di Kaltim untuk sekira 4 juta penduduk hingga kini masih minus 80-90 ribu ton per tahun. Beras. "Itu perbandingannya jumlah penduduk yang ada di Kaltim dengan jumlah produksi kita," katanya. Perhitungan itu ia dapatkan jika dikonversi dengan konsumsi per kapita, per orang, per tahun. Yakni rata-rata 90 kilogram kebutuhan beras per orang per tahun. "Kalau IKN jadi, maka kita akan kedatangan 1 juta sampai 1,5 juta orang. Hitungannya, 1,5 juta kali 90 kilo, maka kita butuh 135 ribu ton. Ditambah kekurangan tadi 80 ribu ton. Jadi 215 ribu ton beras," urai Rusdi. Untuk menghasilkan 215 ribu ton itu, katanya, maka dibutuhkan sekitar 43 ribu hektare sawah baru. Langkah tepat yang ia maksudkan ialah, mengatasi kondisi lingkungan Kaltim. Yang menurutnya punya banyak kelebihan. Juga banyak kekurangannya. "Kelebihannya khatulistiwa. Kita tidak kenal musim. Artinya, kita boleh tanam kapan saja. Tetapi permasalahan lain, karena khatulistiwa tadi, terwujudnya hutan tropikal basah atau tropikal lembab," ungkap Rusdi, sapaannya. Dalam hal komoditas pokok padi, benih yang digunakan dalam program pemerintah, cenderung benih yang tidak adaptif untuk iklim di Kaltim. Intensitas cahaya Kaltim hanya 48 persen. Sementara, padi yang biasa digunakan membutuh minimal 80 persen pencahayaan. "Ada selisih sekitar 32 persen," ucapnya. Kondisi Kaltim setiap hari selalu berawan. Dampaknya, lanjut Rusdi, cahaya matahari tidak bisa masuk. Oleh karenanya, hal itu berdampak pada proses fotosintesis. Lama penyinaran di Kaltim rata-rata hanya 6 jam. Sementara jika dibandingkan dengan daerah di Jawa yang bisa memiliki intensitas cahaya hingga 11 jam. Komoditas padi di Kaltim akan memiliki selisih hingga 5 jam. "Dampaknya adalah, petani ini hanya menangkap karbon untuk fotosintesis untuk menghasilkan karbohidrat itu, tidak optimal," urai dia. "Padi itu butuh 75 - 80 persen," imbuh Rusdi. Dengan minimnya penyinaran yang berdampak pada proses fotosintesis itu, juga berpengaruh pada proses pembentukan gabah. Hal itu pula yang presentase gabah hampa di Kaltim tinggi. Hingga 20 persen lebih setiap tahunnya. Belum lagi, kondisi kelebihan kelembaban itu akan menyebabkan perkembangan hama penyakit yang sangat tinggi. "Makanya tanaman padi kita itu gampang sekali terserang hama penyakit," ujarnya. Masalah berikutnya mengenai karakter tanah di Kaltim yang sangat asam. Bahkan, menurut kajiannya, hampir seluruh tanah di Kaltim hingga Kaltara berkarakter sangat asam. Hal itu berdampak pirit pada komoditas padi. "Karena sawah kita dibangun dasarnya dari daerah rawa. Piritnya tinggi. Keracunan besi. Makanya kita sering ketemu padi umur 40-50 hari, kuning merah lalu kering," beber dia. Rusdi turut mengungkapkan masalah keasaman tanah hingga kini. Sejak 30 tahun lalu. Pemerintah belum pernah sama sekali melakukan program kapurisasi untuk lahan sawah. Itu mendesak juga di Kaltim. Selain itu, sudah 30 tahun pemerintah belum pernah melakukan program pemupukan organik di lahan sawah Kaltim. Yang ada selama ini hanya sporadis. Dilakukan atas inisiatif petani dalam skala kecil. "Maksud saya, pemerintah bisa ambil alih program-program itu. Siapkan dananya, lakukan kapurisasi, lakukan pemupukan organik baru, lakukan pemupukan berimbang," katanya. Segala permasalahan itu bisa diatasi dengan langkah tepat. Selain melaksanakan program kapurisasi dan pemupukan organik di lahan sawah, pemereintah juga perlu melakukan pengembangan varietas unggul yang adaptif dengan iklim Kaltim. "Kita punya padi lokal yang adaptif dengan kondisi Kaltim. Nah, kita bisa kembangkan itu," ujarnya. "Kalau itu bisa kita lakukan, maka kita bisa memacu 40 persen kenaikan produktivitasnya," tambah Rusdi. JANGAN FOKUS MEKANISASI Terkait mekanisasi, alat pertanian modern, menurutnya langkah tersebut tidak perlu menjadi fokus. Pasalnya, mekanisasi itu hanya mampu menaikkan produktivitas Kaltim sekitar 15-20 persen. "Alasannya, karena sebagian besar wilayah sawah Kaltim itu bekas lahan rawa. Nah, tidak semua lahan sawah bisa pakai alat berat. Tenggelam," ujarnya. Selain itu, jika berbicara percepatan pembangunan, tidak semua petani Kaltim siap dengan alat itu. Butuh proses. "Sedangkan kita butuh percepatan. Kita harus siapkan petani. Belum lagi maintenance kalau alat itu rusak, belum lagi bahan bakar," katanya. Terkait sumber daya manusia (SDM), pemerintah memang perlu melakukan penambahan jumlah penyuluh. Saat ini jumlah penyuluh Kaltim kekurangan hampir 500 orang. Idealnya untuk Kaltim ialah 1.400 orang. "Sekarang ini kita hanya 600-700 orang saja. Kita sudah kehilangan hampir 500 orang dan belum ada penambahan penyuluh lagi," katanya. Persoalan lain, jumlah petani di Kaltim juga terus menyusut. Hal itu disebabkan kurangnya minat masyarakat di Kaltim untuk menjadi petani. Rata-rata usia petani Kaltim ialah 52 tahun. Solusinya, menurut Rusdi, ialah upaya untuk mendatangkan petani yang melimpah di luar Kaltim. "Di Jawa itu petani berlimpah. Kenapa tidak dioper kesini, hidupkan lagi program transmigrasi. Itu terkait tenaga kerja. Tanam padi itu mulai dari semai, olah tanah, tanam, panen, pasca panen. Kita tidak punya lagi orang saat ini," bebernya. Jika setiap sektor itu mampu diatasi, menurut dia, barulah bisa mewujudkan program klaster kawasan pangan di Kaltim. "Di Kaltim ini untuk daerah penghasil padi ini ada di Kukar, PPU, Paser, Berau ditambah Kutim sedikit," ungkapnya. Namun, untuk komoditas sayur-sayuran, setiap kawasan di Kaltim masih cocok untuk dikembangkan. "Wortel, lobak, itu tidak bisa ditanam disini. Kondisi kita dataran rendah. Itu butuh suhu dingin. Untuk sayur lain, kita potensial sebenarnya. Tanggal dioptimalkan saja yang ada," katanya. HILANGKAN PERSEPSI BERAS Kemudian, solusi lain yang perlu dilakukan pemerintah adalah menghilangkan persepsi masyarakat untuk kebutuhan makan pokok dari beras. "Imej itu harus dibuang,” ucapnya. Pasalnya, tumbuh kembang beberapa komoditas, semisal ubi kayu itu sangat potensial di Kaltim. "Singkong itu tidak kalah gizinya dengan beras. Dia mampu bertahan 8 jam di perut. Padi itu 6 jam," katanya. Selain ubi kayu, masih ada beberapa komoditas lain yang potensial dikembangkan di Kaltim. Seperti ubi jalar, jagung dan juga tanaman jelai, sejenis padi-padian. "Harusnya kita pertahankan itu. Kearifan lokal kita. Sebanarnya kita tidak perlu seragam makan beras," kata Rusdi. Lebih jauh, pihaknya sebagai pencetak inovasi juga juga berkomitmen dalam membantu pemerintah mewujudkan program percepatan itu. Saat ini pihaknya terus melakukan penelitian dalam hal pengembangan varietas. "Kami di kampus juga mulai merakit padi unggul," ujarnya. Pihaknya telah melakukan penelitian pengembangan padi varietas lokal. Sekarang ini sudah sampai generasi F8, tinggal melakukan uji multilokasi di 8 lokasi. Pihaknya telah melakukan penelitian dan telah memiliki 25 galur. Calon varietas unggul hasil dari perkawinan dari varietas lokal yang ada di Kaltim. Namun, hal itu masih memerlukan dukungan dari pemerintah Kaltim. "Tapi, saya tidak punya uang untuk melakukan uji itu. Makanya kita mau minta bantuan pemerintah," tutur dia. Selain itu, pihaknya juga tengah melakukan penelitian untuk memperpendek masa tanam padi gunung. "Jadi tidak panen sekali dalam setahun, tapi dua kali," demikian Rusdi. (rsy/dah) BACA JUGA:

  • Ini Dia, di Kaltim Sawahnya Rasa Hujan
Tags :
Kategori :

Terkait