Herdiansyah Hamzah
Samarinda, DiswayKaltim.com – Andi Walinono (AW), terdakwa korupsi pengadaan lahan untuk rumah potong unggas (RPU) Balikpapan, mengisyaratkan sebagai tumbal dalam kasus yang merugikan uang negara sekira Rp 11 miliar tersebut.
Anggota DPRD Balikpapan nonaktif dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar) ini, mengaku bukan pemain tunggal dalam kasus korupsi berjemaah itu. Karenanya, dilansir dari tribunnews.com, dia mengaku tak menerima proses hukum yang dinilainya tebang pilih.
“Ada pelaku lain yang artinya harus bertanggungjawab dan bukti nyata terang benderang,” ucapnya pasca divonis tujuh tahun penjara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda.
Namun dalam sesi wawancara itu, AW tidak menyebut secara detail nama-nama yang tak tersentuh penyidik dalam kasus korupsi yang mulai bergulir pada 2017 itu. Jika ditarik ke belakang, Ketua DPRD Balikpapan, Abdullah, acap disebut dalam kasus ini. Bahkan Kepolisian Daerah (Polda) Kaltim beberapa kali memanggilnya sebagai saksi. Namun hingga kini, penyidik urung menetapkannya sebagai tersangka.
Abdullah juga disebut dalam sidang pada 22 Januari 2019. AW menerima uang dari Rosdiana atas perintahnya. Selain politisi Partai Golkar tersebut, AW juga menyebut Muklis, Yajid, Doris Eko, Faisal Tola, dan Usman Daming sebagai orang-orang yang mengetahui dan menerima uang senilai Rp 4,9 miliar itu.
Kesemuanya berstatus sebagai wakil rakyat di Kota Minyak. Dia mengurai, Abdullah menerima uang Rp 2,5 miliar, Mukhlis sekira Rp 100 juta hingga Rp 200 juta, Doris Eko senilai Rp 100 juta, Faisal Tola memperoleh Rp 100 juta, Usman Daming sekira Rp 50 atau Rp 30 juta, dan Yajid menerima Rp 300 juta. Data-data ini semua terungkap dalam fakta persidangan dan kesaksian AW.
Pegiat anti korupsi yang juga pengamat hukum dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menyebut, berdasarkan prinsip hukum, bukti-bukti serta fakta yang terungkap dalam persidangan dapat digunakan sebagai petunjuk untuk mengurai keterlibatan pihak lain.
“Bahkan bisa dijadikan dasar dalam menetapkan tersangka baru. Karena saya meyakini jika setiap kasus korupsi itu tidak berdiri sendiri. Dia selalu melibatkan persekongkolan dari berbagai pihak alias dilakukan secara berjemaah,” sebutnya, Rabu (24/7/2019).
Kata dia, setiap kasus korupsi selalu menggunakan delik penyertaan (deelneming) untuk mengurai peran antara orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan turut melakukan perbuatan tindak pidana korupsi.
Pun demikian dalam kasus korupsi pengadaan lahan RPU Balikpapan. Dia mendesak penyidik mengurai peran semua pihak. Terutama pusat kekuasaan yang mengendalikan kebijakan hingga mengakibatkan kerugian negara.
“Tidak hanya di level eksekutif. Tetapi juga di DPRD. Jadi penyidik harus menyasar semua pihak yang terlibat sesuai petunjuk yang didapatkan. Termasuk berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan,” imbuhnya.
Pria yang karib disapa Castro ini menyarankan penyidik agar segera memanggil orang-orang yang disebut serta terungkap dalam persidangan kasus pengadaan lahan RPU.
“Jika penyidik membiarkan [orang-orang yang disebut dalam persidangan], jangan salahkan publik jika menuding ada main mata dalam kasus ini,” ucapnya.
Castro menyarankan penyidik pro aktif. Salah satunya melacak pemilik kewenangan yang menganggarkan pengadaan lahan RPU. Meski penetapan tersangka harus disertai alat bukti yang memadai, tetapi penyidik tidak boleh pasif.
“Kalau upaya penyidik lamban dan tidak maksimal, KPK bisa melakukan supervisi terhadap kasus RPU ini,” pungkasnya. (K/qn/dah)
Berita Terkait:
Tak Terima Divonis Tujuh Tahun, AW Ajukan Banding Kasus RPU Berlanjut, MAKI: Akan Ada Dua Tersangka Lagi yang Ditetapkan