Seperti kawasan pinggiran Balikpapan Timur atau perbatasan dengan kabupaten tetangga.
Subur menuturkan bahwa Langkah tersebut menjadi satu-satunya cara, supaya harga rumah masih sesuai dengan kemampuan pasar subsidi.
Untuk menyesuaikan kondisi itu, pengembang umumnya melakukan dua langkah, yaitu mengurangi luasan bangunan dan memilih lokasi yang belum terlalu mahal.
BACA JUGA:Wali Kota Balikpapan Minta Jaminan Perlindungan Pekerja di Fase Akhir Proyek RDMP
"Biasanya mereka cari lahan di daerah yang harga tanahnya belum terlalu tinggi. Luasan bangunan pun tidak bisa sebesar 10 atau 15 tahun lalu, semuanya dihitung agar harga jual tetap masuk program subsidi," tutur Subur.
Ia mengungkapkan, kondisi ini juga turut mengubah peta persebaran penduduk kota.
Pertumbuhan perumahan baru cenderung meluas ke luar pusat kota, diikuti dengan kebutuhan baru terhadap infrastruktur dasar seperti jalan, air bersih, dan transportasi umum.
Menurut Subur, persepsi masyarakat terhadap lokasi strategis saat ini ikut berubah.
Bagi sebagian orang, lokasi strategis tidak lagi berarti dekat pusat bisnis atau mal, tetapi lebih pada dekat tempat kerja, sekolah, atau fasilitas publik yang dibutuhkan sehari-hari.
"Bagi yang bekerja di kawasan industri atau proyek, justru rumah di pinggiran dianggap lebih strategis. Jadi makna strategis itu relatif, tergantung kebutuhan masing-masing," jelasnya.
BACA JUGA:Fraksi NasDem Desak Pemkot Balikpapan Benahi Krisis Air dan Banjir
Subur menegaskan, fenomena pergeseran pembangunan perumahan ke wilayah pinggiran harus diimbangi dengan kebijakan tata ruang yang adaptif dan pemerataan akses lahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah.
Tanpa itu, baginya, harga tanah di kawasan urban akan terus menanjak dan mempersempit ruang tinggal warga menengah bawah.
"Pertumbuhan kota tidak bisa dihindari. Tapi bagaimana memastikan agar masyarakat kecil tetap punya ruang untuk tinggal, itulah tantangannya," tutupnya.