“Jalur usulan pembangunan ada tiga. Pertama lewat Musrenbang dari kampung hingga kabupaten. Kedua dari pokok pikiran (pokir) anggota dewan. Ketiga dari rencana kerja kami sendiri saat turun ke lapangan,” terangnya.
Ia mengakui, kerap kali usulan dari tiga jalur itu tumpang tindih dan tidak sepenuhnya mencerminkan kebutuhan utama sekolah.
Ada sekolah yang lebih butuh toilet, malah dapat pembangunan pagar.
Bahkan ada sekolah dengan meja-kursi lapuk yang tak terjangkau usulan karena tidak tercatat dalam jalur resmi.
Jika bisa memilih, kata Bandarsyah, dirinya ingin pembangunan difokuskan dulu pada sekolah-sekolah besar di kawasan padat.
BACA JUGA:Dilaporkan Hilang 2 Hari Lalu, Mayat ABK Ditemukan Mengapung di Perairan TCM Muara Bunyut Kubar
Seperti di di Barong Tongkok, Melak, Linggang Bigung, dan Sekolaq Darat.
"Sekolah besar dulu dituntaskan. Kasih aja masing-masing Rp20 sampai Rp30 miliar. Tapi enggak bisa sembarangan, karena kita harus ikuti mekanisme formal dan akomodasi semua jalur usulan,” ucapnya.
Persoalan lain yang mencuat adalah ketidakakuratan data Dapodik (Data Pokok Pendidikan), yang berpengaruh langsung terhadap sistem perekrutan P3K dan penempatan guru.
“Dapodik itu diisi langsung oleh sekolah. Kadang guru Bahasa Inggris karena bisa ngaji diisi sebagai guru agama Islam. Begitu buka formasi P3K untuk guru agama Islam, datanya terbaca sudah ada. Padahal itu bukan bidangnya. Sistem jadi salah ambil keputusan,” bebernya.
Meski sudah ada pelatihan dan rekonsiliasi rutin, akurasi data masih jadi pekerjaan rumah besar.
Hal itu diperparah dengan fakta bahwa ratusan guru belum memenuhi standar kualifikasi akademik.
Ada sekitar 100 guru yang belum sarjana (S1). Padahal menurutnya, tahun depan semua guru sudah wajib S1 sesuai jurusan dan tersertifikasi.
BACA JUGA:Hari Anak Nasional di Kutai Barat: Bebaskan Anak Bermimpi, Tolak Pernikahan Dini
Demi mencapai target itu, Disdikbud pun meminta para guru untuk kuliah di universitas terbuka, agar bisa kuliah sambil mengajar.