SUARA CABOR

Kamis 20-02-2020,11:03 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Stadion Utama Palaran dan Hotel Atlet, kompleks Stadion Madya Sempaja sudah lama menjadi bahan pergunjingan publik. Dianggap tak bermanfaat dan menghabiskan anggaran besar buat perawatan. Kendati hasilnya tetap tak terawat. Muncul suara para cabor agar kedua aset itu segera diswastakan.    ------------------- Suara dorongan swastanisasi dua aset Pemerintah Provinsi Kalimantan; Stadion Utama Palaran dan Hotel Atlet, sudah lama digaungkan. Bahkan sejak era Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Di masa Awang pula lah kedua fasilitas olahraga ini dibangun. Tepatnya menyongsong Pekan Olahraga Nasional (PON) 2008 yang diselenggarakan di Kaltim. Sekarang sudah 10 tahun lebih dari sejak dibangun itu. Namun pemerintah Provinsi Kaltim seolah mentok. Mau diapakan kedua aset yang dibangun dengan nilai ratusan miliar tersebut. Beberapa kali Disway Kaltim menanyakan soal rencana pengelolaan, namun belum mendapat jawaban yang pasti. Beberapa petinggi di KONI Kaltim pun sudah “enggan” berkomentar terkait hal itu. Khawatir memicu konflik dengan pemerintah. Padahal semakin lama dibiarkan, tentu kondisinya akan semakin parah. Ratusan miliar rupiah yang ditanam untuk aset tersebut tak bisa dimanfaatkan oleh warga. Pun begitu oleh sejumlah cabang olahraga (Cabor). Padahal bisa saja, meski tak mendapatkan keuntungan besar untuk pendapatan asli daerah (PAD) kedua fasilitas tersebut diperuntukkan sebagai layanan masyarakat. Seperti yang diutarakan Ketua Harian Muaythai Indonesia (MI) Kaltim Bhudi Iriawan. Menurutnya, permasalahan yang selama ini dihadapi bukan hanya soal aset olahraga tersebut yang terbengkalai, namun cabor juga mengalami kesulitan untuk menggunakan fasilitas olahraga milik Pemprov Kaltim sendiri. Budhi tak sendirian. Ia juga mendengar terdapat banyak keluhan dari pengurus cabor lain karena tidak diprioritaskan menggunakan beberapa fasilitas olahraga. "Kalau memang harus bayar, ya kami paham. Karena aturannya seperti itu. Tapi terkadang, mungkin sudah pernah dengar, kami sempat kesulitan untuk menggunakan. Contohnya Stadion Sempaja karena berbagai alasan. Padahal cabor sangat perlu untuk latihan fisik," lanjutnya. Bhudi Iriawan sangat merekomendasikan jika Pemprov Kaltim segera menyerahkan pengelolaan Stadion Utama Palaran dan Hotel Atlet kepada swasta. Namun dengan tetap memprioritaskan aspek olahraga. "Kalau saya sih, sebaiknya dikelola oleh orang yang bisa fokus mengurus itu. Harus dipisahkan dari Dispora. Harus swasta memang yang pegang, tapi tidak memberatkan cabor soal sewa tempat," kata Bhudi, Selasa (11/2). Dengan diserahkan pada pihak swasta, Budhi berharap selain manajemen perawatannya lebih optimal, para cabor juga bisa mendapat kemudahan akses dan mendapat harga khusus. "Mohon maaf, tapi kondisinya memang seperti itu. Tidak ada harga khusus buat cabor, juga kadang sulit meminjamnya. Semoga dengan diswastakan, bisa lebih memperhatikan kami para cabor lah," ujarnya. Padahal cabor ingin menggunakan fasilitas olahraga agar bisa menggenjot prestasi olahraga. Untuk Kaltim sendiri. Oleh sebabnya Pemprov harus menyadari hal ini sebagai kendala. Aturan yang dipakai saat ini sangat tidak fleksibel dan cenderung merugikan cabor. Bahkan beberapa cabor terpaksa harus menggelar TC di luar Samarinda. Ke depan, masalah seperti ini harusnya sudah tidak ada lagi. Terlebih, Kaltim selalu memiliki target besar di setiap penyelenggaraan event olahraga. Baik di tingkat nasional maupun internasional. Jika masalah dasar seperti perawatan fasilitas olahraga dan sikap kurang kooperatif pemerintah terhadap cabor, bukan tidak mungkin prestasi Kaltim di kancah olahraga bisa merosot di kemudian hari. Stadion Utama Palaran sejatinya masuk kategori stadion mewah. Selevel dengan Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK). Bahkan pernah diajukan sebagai stadion yang mampu menggelar event Piala Dunia. Namun terkini, beberapa bagian Stadion Utama Palaran retak. Kursi di tribun penonton tak jelas lagi apa warnanya. Lumut dan rumput tumbuh subur. Hotel Atlet pun tak kalah mengenaskan nasibnya. Hotel yang setara bintang 4 itu kini dibiarkan suram. Beberapa orang menyebut Hotel Atlet adalah tempat tidurnya jin. Pemprov harus bergerak cepat. Jika tak mampu mengelola, sebaiknya segera diberikan pada pihak swasta saja. Atau, Stadion Utama Palaran dan Hotel Atlet akan benar-benar menjadi sarang jin. DIKELOLA PERUSDA Sekretaris Umum Persatuan Angkat Besi Binaraga dan Angkat Berat Seluruh Indonesia (PABBSI) Kaltim, Hendra Radinal Ary bersuara cukup lantang. Ia sangat ingin mendorong Pemprov Kaltim segera menyerahkan Stadion Utama Palaran dan Hotel Atlet kepada swasta. Menurutnya, hanya itu solusi agar aset olahraga tersebut bisa diselamatkan. "Kami paham jika Pemprov tak bisa merawat Stadion Palaran dan Hotel Atlet. Bisa jadi memang kurang orang untuk mengurusi itu. Oleh sebabnya sebaiknya diberikan kepada swasta saja. Masalahnya selama ini kan tidak ada dana dari Pemprov. Kalau swasta yang pegang, mereka pasti berpikir untuk mengomersilkan," kata Hendra. Pemprov, menurut Hendra, tidak perlu punya hitungan muluk-muluk untuk besaran pendapatan asli daerah (PAD) yang didapat dari pengelola (swasta). Terpenting adalah baik Stadion Utama Palaran, Hotel Atlet, dan aset olahraga lainnya bisa dirawat dengan baik. Perawatan aset-aset itu sudah menjadi keuntungan besar bagi Pemprov. Menurutnya, perusahaan daerah (Perusda) seperti Perusda Melati Bhakti Satya (MBS) harus segera mengambil alih dan mencarikan investor untuk dua aset besar itu. Investor yang memiliki relevansi dengan pengelolaan aset olahraga. "Pemprov kan punya BUMD. Ini harusnya tugas dari MBS. Serahkan saja pada pihak ketiga. Karena kalau mengandalkan dana dari pemerintah, berat. Tidak akan sanggup merawat," lanjutnya. Dengan diswastakan, pengelola pasti berpikir bagaimana mencari keuntungan. Sejurus dengan itu, peningkatan fasilitas akan terus ditingkatkan. Wacana swastanisasi ini sebaiknya, kata Hendra, harus disegerakan. Sebelum kondisi Stadion Utama Palaran dan Hotel Atlet semakin memburuk dan tidak menarik minat investor lagi. "Pemprov tidak mengucurkan dana yang layak, beralasan tidak menguntungkan. Itu kan karena mereka kurang promosi saja. Makanya harus swasta yang pegang. Kalau tidak, lihat sekarang, dua tempat itu sudah seperti sarang jin saja," lanjutnya. Hendra menekankan agar BUMD seperti MBS dapat bersikap proaktif dalam masalah ini. Karena jika hanya mengandalkan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Provinsi Kaltim, perkara perawatan aset olahraga tidak akan pernah selesai. "MBS pasti bisalah carikan investor. Kalau tidak bisa, pecat saja orang-orangnya," kata pria bertubuh kekar itu. BELUM TERLAMBAT Ketua Ikatan Anggar Seluruh Indonesia (Ikasi) Kaltim, Muslimin, ikut buka suara. Menurutnya melakukan pembiaran dengan dalih apa pun bukanlah sebuah pilihan. Pemprov Kaltim bisa memilih satu di antara tiga pilihan. Pertama, mengelola melalui Dispora seperti saat ini. Kedua dijadikan Badan Layanan Umum (BLU) seperti rumah sakit, agar uang yang didapat dari pemakaian Stadion Utama Palaran dan Hotel Atlet bisa langsung digunakan untuk perawatan. Atau pilihan ketiga, menyerahkan kepada pihak swasta. "Kalau serius, tiga opsi itu bisa dipakai. Tapi memang yang paling menguntungkan adalah diswastakan," kata Muslimin. Yang jadi momok selama ini hingga terjadi pembiaran, yakni penempatan orang untuk mengelola aset pemerintah ini bukan orang yang ahli di bidangnya. Ditambah minimnya sumber dana membuat kedua aset peninggalan PON Kaltim tersebut terbengkalai. "Itulah konsekuensi dari pembangunan. Harus bisa dikelola. Jangan sampai bisa membangun kada bisa merawat. Belum terlambat kok untuk dirawat. Karena biaya perawatan itu lebih kecil ketimbang biaya perbaikan. Sebelum banyak yang rusak, mending cepat dirawat," lanjutnya. Agar Pemprov tak kehabisan energi untuk mengurusi hal itu, Muslimin mengusulkan agar segera diserahkan kepada pihak ketiga. "Menyerahkan kepada swasta adalah langkah paling bagus. Cuma yang perlu diingat adalah harus ada rate khusus untuk cabang olahraga. Jadi tidak memberatkan cabor lagi," imbuhnya. DRAMA INVESTOR Kendati belum nampak, namun Pemprov Kaltim tak tinggal diam. Setelah gagal bermitra dengan PT Bakrie Nirwana Semesta (BNS), grup Bakrie, dengan penawaran Rp 54,03 miliar pada lelang investor 2013. Pemprov terus menawarkan diri Hotel Atlet kepada sejumlah calon investor lainnya. Sekitar tahun 2017-2018, Hotel Atlit sempat kembali dilelang. Namun, lelang kali tak hanya hotel itu saja, tapi sekaligus dengan pengelolaan Convention Hall. Berada di kawasan yang sama. Kawasan Stadion Madia Sempaja. Pemenang lelangnya yaitu PT Timur Borneo Indonesia (TBI). Tapi belakangan diketahui, PT TBI menggandeng PT Pakuwon Group untuk melakukan investasi di dua bangunan tersebut; Hotel Atlit dan Convention Hall. PT Pakuwon Group berubah pikiran. Tertarik untuk pengelolaan kedua bangunan itu. Mengelola sendiri tanpa harus bekerja sama. Perlahan manajemen PT Pakuwon Group menarik investasi yang diberikan kepada PT TBI. Padahal PT TBI adalah perusahaan pemenang lelang. “PT TBI memang telah menjadi pemenang lelang. Tetapi, mereka tidak memiliki modal cukup besar untuk mengelola Hotel Atlit dan Convention Hall. Karenanya menggandeng PT Pakuwon Group. Tapi PT Pakuwon Group tertarik untuk mengelola sendiri,” kata Kepala Biro (Karo) Umum Sayid Adiyat, kepada Disway Kaltim, beberapa waktu lalu. Menurut sumber Disway Kaltim, Direktur Utama PT Pakuwon Group Stefanus Ridwan sudah melakukan komunikasi dengan Gubernur Kaltim Isran Noor terkait hal itu. Bahkan, Pakuwon juga menyampaikan konsep pengelolaannya. Antara lain mereka berencana akan membangun pusat perbelanjaan di antara Convention Hall dan Hotel Atlit. Menurut mereka, jika hanya mengandalkan Convention Hall dan Hotel Atlit saja tidak ada daya tariknya. Dan konsep tersebut, katanya, adalah yang pertama dilakukan di Indonesia. Namun, masalahnya, jika harus membangun pusat perbelanjaan ceritanya tambah panjang. Karena kawasan tersebut secara fungsional diperuntukkan sebagai sarana olahraga. Kendala kedua, yakni soal jangka waktu kerja sama pengelolaan. Menurut manajemen Pakuwon, idealnya kerja sama dilakukan selama 40 tahun. Setelah itu aset bisa dikembalikan kepada Pemerintah Provinsi Kaltim. Sementara aturan pemerintah yang mengatur kerja sama pengelolaan seperti itu hanya 30 tahun saja. Sampai di situ mentok. Hingga sekarang belum ada perkembangan lagi mau diapakan wisma atlet tersebut. “Ya kami menunggu kalau ada investor yang mau lagi,” kata Sayid. (*)  Pewarta : Ahmad Agus Arifin Editor : Devi Alamsyah      

Tags :
Kategori :

Terkait