Catatan Perjalanan ke Negeri Tirai Bambu (3) ; Mata Termanjakan oleh Pesatnya Ibu Kota Shanghai

Rabu 01-01-2020,18:23 WIB
Reporter : bayong
Editor : bayong

Direktur Keuangan PT Kaltim Electric Power Group Marsudi Sukmono bersama keluarga di dermaga The Bund, Shanghai. (Bayong/Disway Kaltim) Mata kami dimanjakan. Gedung-gedung menjulang. Tata kota rapi. Kami disihir oleh majunya infrastruktur Shanghai. Baharunsyah, Shanghai.   SETELAH berjibaku berburu kuliner, kini saatnya memanjakan mata. Rute tur kami adalah menikmati pinggiran Sungai Huangfu. Tempat ikonik yang selalu menjadi tujuan para turis. Jarak tempuhnya sekitar 40 menit. Dari restoran halal tempat kami makan saat pertama tiba. Menggunakan bus.   Infrastruktur di Shanghai tergolong maju. Tidak ada jalanan berlubang. Apalagi bergelombang. “Di Tingkok, Shanghai ini kemajuannya paling cepat. Sudah modern. Lebih modern dibandingkan daerah lainnya,” kata As San.   Ia tidak bercanda. Kami melintas di jalan layang. Di kanan dan kiri, gedung apartemen menjulang. Lebih dari satu. Pemandangan di bawah banyak ditemukan kanal. Nah, ini menariknya. Tidak ada bukit di Shanghai. Kota ini datar. Hampir sejajar dengan permukaan air laut. Kata As San.   Pemerintah Shanghai punya trik. Membuat banyak kanal atau sungai kecil sebagai tempat mengalirnya air. Bagusnya lagi, tidak ada bangunan rumah di pinggir sungai kecil tersebut. Kalau pun ada jumlahnya hanya sedikit.   Lebar kanal-kanal ini menyerupai Sungai Karang Mumus di Samarinda. Sekitar 30 meter. Mungkin lebih.  “Di Shanghai tidak ada bukit, beda dengan Beijing. Pemerintah di sini bikin parit-parit lebar dan dalam,” kata As San. Pemandu tur kami yang cukup fasih berbahasa Indonesia.   Sebagian dari kami terlelap. Menyempatkan istirahat di dalam bus. Sambil menikmati mulusnya jalanan Shanghai. Sebagian ada yang terjaga. Asyik menikmati pemandangan dan memperhatikan struktur bangunan. Termasuk saya. Bagaimana tidak. Bangunan di sini semuanya tertata. Sama rata. Bentuknya hampir serupa.   Ada sebuah kawasan perumahan yang kami lewati. Atapnya dipenuhi banyak panel surya. Desain rumahnya hanya sampai dua tingkat. Kata As San, ini masih kampung. Atau pinggiran kota Shanghai. “Gila, kampung saja rapinya begini,” celetuk salah satu rombongan.   Kami melintasi jembatan gantung yang menjadi penghubung. Antara kota lama dan baru. Lokasi kami di kota lama. Kami menuju kota baru. Yang dibatasi oleh Sungai Huangfu. Meski disebut sungai, itu sebenarnya adalah air laut. Destinasi pertama kami adalah The Bund. Dermaga sepanjang Sungai Huangfu. Kawasan ini membentang di sepanjang tepi barat Sungai Huangpu di bagian timur Distrik Huangpu. The Bund juga merupakan pusat kota Shanghai. Shanghai Tower menjadi ikon. Tingginya mencapai 632 meter. Lokasinya di seberang dermaga. Sehingga dijadikan sebagai area wajib berfose. 15 menit As San memberikan kami waktu, karena masih ada beberapa tempat lagi yang perlu dikunjungi.   Saat itu pukul 08.00 pagi. Ada matahari. Tapi jangan terkecoh. Matahari “kurang berguna” untuk jadi penghangat. Karena suhu mencapai 10 derajat Celsius. Bagi kami yang terbiasa hidup di iklim tropis, itu sudah cukup dingin. “Di sebelah sana  (sambil menunjuk Shanghai Tower,Red.) adalah kota baru. Modern semua. Yang tadi kita lewati itu masih kota lama,” tutur As San.   Puas berfose di The Bund, kami melanjutkan perjalanan. Menuju Cheng Huang Miao Market. Dengan berjalan kaki. Ada keunikan sendiri berjalan kaki di Shanghai dengan Singapura. Kami tidak terlau capek. Tapi berusaha keras menahan suhu dingin. Sebelum menuju Cheng Huang Miao Market, kami melewti Gucheng Park.   Sebuah ruang terbuka hijau yang ramai. Pohon gingko biloba berjejer. Warna daunnya kuning. Sebagian berguguran. Musik salsa diputar. Seorang perempuan paruh baya dengan pakaian necis menari. Setelah itu lelaki tua, beruban, merogohnya dari belakang. Bukan adegan mesum. Ternyata mereka sedang menari. Tidak cuma beraksi berdua. Ada beberapa. Dan semuanya lansia. Yang menonton? Lansia juga. Dan beberapa turis asing yang hendak abadikan momen.   Gucheng Park cukup ramai pagi itu. Banyak warga lokal datang. Anak-anak bermain. Tapi ada satu aturan. Dilarang menginjak rumput. Saya melihat petugas yang berjaga berteriak kepada seseorang. Ia mengenakan seragam hitam. Lengkap dengan topi kadet. Hampir menyeruapi polisi.  Ternyata ada pengunjung yang melanggar aturan. Dan lagi-lagi, lelaki itu adalah lansia. Sampah pun tidak ada yang berserakan di jalan. Taman ini benar-benar bersih dan cocok untuk merehatkan pikiran. Dan lebih penting, memberdayakan para lansia untuk tetap bisa produktif meski di usia mereka yang senja. (bersambung)

Tags :
Kategori :

Terkait