SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM – Gerbong kereta berkelir merah terpaku tanpa roda. Di atas halaman. Depan gedung sekolah Tomoe, Tokyo, periode 1940.
Di dalamnya tak ada kondektur, masinis, apalagi kursi penumpang. Semua disulap menjadi ruang belajar, lengkap dengan bangku dan meja. Tetsuko Kuroyanagi, seorang bocah lima tahun bersama ibunya memasuki Sekolah Tomoe untuk kali pertama. Kobayashi, Kepala Sekolah Tomoe menyuruh si ibu pergi. Ia ingin berbicara dengan calon muridnya. Mereka masuk ke dalam ruangan kepala sekolah.
Duduk di atas bangku, Tetsuko disuruh bicara selepas-lepasnya. Ceriwis tanpa ada habis-habisnya. Sampai akhirnya ia letih sendiri, Tetsuko kemudian berucap lirih sambal menunduk, “Kenapa semua orang menyebutku pembuat onar?”
Kobayashi memegang kepala Tetsuko. Dengan senyumnya yang bijak ia bilang, "Kamu benar-benar anak yang baik".
Si bocah keheranan. Baru kali ini tidak ada yang marah dengannya. Kisah hidup Tetsuko dimulai.
Orang-orang memanggil anak itu dengan nama Toto Chan. Hari pertama masuk sekolah, seperti biasa, Toto Chan selalu ceriwis dan terlihat riang. Setiap anak disuruh melakukan aktivitas yang mereka suka. Ada yang bermain piano. Ada yang menggambar. Ada yang bereksperimen sains. Ada pula yang berolahraga di lapangan sekolah. Di sini Toto bertemu dengan Yasuaki Namamoto. Bocah laki-laki difabel yang memiliki keterbatasan fisik. Ia cuma duduk sendirian membaca buku. Di pojokan, dekat jendela gerbong.
Scen berganti. Toto masuk ke sebuah ruangan besar. Semua anak-anak berkumpul membuka hidangan makan siang yang dibawa dari rumah. Kobayashi mengajak mereka semua bernyanyi, baru kemudian menyantap bekal yang sudah disiapkan sedari pagi. Beberapa hari setelahnya, semua anak berkumpul di sebuah ruangan besar.
Kepala Sekolah Kobayashi menyuruh anak-anak melepas kaus kaki. Mereka bingung. Tapi tetap jua melepas. Setelah itu, Kobayashi mulai memiankan tuts piano. Anak-anak menari, melingkar, berputar-putar, sampai akhirnya mereka kelelahan dan bersandar di atas lantai. Seperti biasa, Kobayashi tertawa melihat kepolosan tawa mereka.
Scene riang penuh tawa tadi harus berganti setelah 365 hari dijalani. 8 Desember 1941. Kekaisaran Jepang mengumumkan lewat radio mendeklarasikan perang melawan Inggris dan Amerika. Orang tua Toto menghela napas. Mereka berpesan kepada anak satu-satunya itu, untuk mulai memanggil dengan sebutan papa dan mama, agar tidak dikira sebagai mata-mata.
Di jalanan raya konflik identitas sosial di Jepang mulai muncul. Sejumlah warga yang anti terhadap Barat menyerukan agar menggunakan pakaian tradisional Kimono. Sebagai bentuk perlawanan terhadap pengaruh negara-negara Barat kepada Jepang.
Sayangnya situasi itu tidak setali tiga uang. Kehidupan Toto justru lebih menyerupai lingkungan ala Barat. Ayahnya seorang musisi orchestra yang dipimpin oleh seorang dirijen berdarah Jerman. Ibunya pun berpakaian layaknya kelas menengah Eropa. Kehidupan keluarga Toto Chan pun berubah, menjadi bulan-bulanan masyarakat Nipon di masa itu.
Meski dihadapkan pada situasi itu, Sekolah Tomoe tetap tidak berubah. Anak-anak masih bermain dan belajar. Tawa riang tetap mengiringi hari-hari di sana meski di situasi yang sangat pelik.
Bahkan Kepala Sekolah Kobayashi masih sempat-sempatnya mendatangkan satu gerbong tambahan tanpa roda baja. Sebagai gantinya tumpukan kayu dijadikan penyangga agar gerbong bisa berdiri di atas tanah. Sama seperti gerbong yang lama. Isinya bukan lagi meja dan bangku belajar, tapi buku bacaan untuk anak-anak. Gerbong itu disulap menjadi perpustakaan.
Dua tahun setelahnya, musim penghujan 1943, hidup Toto Chan berubah drastis. Usianya sudah beranjak tujuh tahun. Kehidupan ekonomi keluarga mereka susah. Tidak ada lagi roti karamel yang menjadi teman sarapan. Menu ikan Denbu yang menjadi pelengkap makan siang di sekolah sudah tidak bisa lagi ditemui.