SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM - Kelompok Kerja (Pokja) 30 Kalimantan Timur (Kaltim) mengungkap pelbagai problematika di dunia pertambangan batubara. Seperti pemberian izin pertambangan kepada badan usaha organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, yang berpotensi menimbulkan konflik.
Koordinator Pokja 30 Kaltim, Buyung Marajo mengatakan, pemerintah harus berhati-hati. Salah satunya terhadap kebijakan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, tentang Perubahan Atas PP Nomor 96 Tahun 2021, tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
BACA JUGA:PWYP Nilai Izin Tambang ke Ormas Keagamaan Picu Peningkatan Produksi Batubara Tak Terkendali
"Ini bisa menimbulkan kerugian besar di masa depan dan tidak memberikan keadilan lintas generasi, konflik sosial juga tidak terelakan terutama antar masyarakat," kata Buyung Marajo, saat menjadi narasumber di diskusi “PP 25 Tahun 2024: Hambatan Bagi Transisi Energi?” baru-baru ini.
Berdasarkan catatan Pokja 30 Kaltim, sejumlah Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang akan dibagikan kepada ormas keagamaan tersebut, juga tidak lepas dari masalah di lapangan.
Misalnya, PT Kaltim Prima Coal (KPC) diduga pernah melakukan kekerasan dan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM), terhadap warga Dayak Basap Keraitan di Kecamatan Bengalon, Kutai Timur (Kutim). Mereka diduga dipaksa pindah dari kampungnya dengan cara diintimidasi.
BACA JUGA:Samsun Tidak Sependapat Pemberian Izin Tambang untuk Ormas Keagamaan
Adapun kasus tewasnya anak di lubang tambang milik PT Multi Harapan Utama (MHU) pada 2015. Kemudian pada 4 Desember 2017, Pengadilan Negeri Tenggarong, Kukar menjatuhkan hukuman kepada PT Indominco Mandiri, serta pidana denda Rp 2 miliar karena terbukti bersalah melakukan pembuangan (dumping) limbah tanpa izin. Buyung Marajo juga menyoroti minimnya ruang partisipasi masyarakat terhadap pembahasan PP Nomor 25 Tahun 2024 ini.
“Partisipasi tidak dibuka, sementara di daerah merasakan dampaknya. Masyarakat lingkar tambang bagian penerima dampak langsung dari aktivitas ekstraktif ini,”
“Selain mereka tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan, tentu saja mereka menjadi kelompok rentan baru yang tercipta dengan sengaja setelah industri ini hengkang dari wilayah kerjanya,” sambungnya.