Ekspor Minyak Goreng Bekas ke Eropa

Kamis 26-12-2019,22:00 WIB
Reporter : Benny
Editor : Benny

Pegawai PT GSPG sedang memindahkan minyak goreng bekas yang akan diekspor. (Mubin/Disway Kaltim) Samarinda, DiswayKaltim.com – Minyak goreng bekas kerap dibuang begitu saja. Namun di tangan PT Garuda Sinar Perkasa Grup (GSPG), jelantah menjadi komoditas ekspor bernilai jual tinggi. Siapa sangka limbah yang lekat dengan kehidupan sehari-hari itu dijual hingga Eropa. Puput Dewi Iswara, direktur utama GSPG, memulai usaha itu pada 2016. Berawal dari keprihatinan terhadap warga yang acap membuang minyak goreng bekas. Dari situ dia melihat peluang. Dan ternyata ada permintaan minyak goreng bekas di luar negeri untuk dijadikan biodiesel. Sejak itu, setiap bulan Puput dapat menghimpun 2 ton sampai 3 ton minyak goreng bekas. “Di awal-awal itu masih jual di pembeli lokal. Jalannya jatuh bangun juga. Belakangan ini saya dapat celah untuk ekspor,” ungkapnya kepada Disway Kaltim, Kamis (19/12). Saat bisnis ini digelutinya, PT GSPG belum dibentuk. Karenanya, penjualan dilakukan dengan cara perorangan. Setahun setelah menggeluti usaha tersebut, barulah PT GSPG berdiri. Yang berpusat di Kecamatan Samarinda Seberang. Seiring berjalan waktu, Puput bersama karyawannya mengumpulkan 20 ton minyak goreng bekas per bulan. Jumlah komoditas itu terus bertambah. Di akhir 2019 ini, setiap bulan dia dapat menghimpun 60 ton sampai 80 ton per bulan di Samarinda. Saban hari, dia menerima 2 ton sampai 3 ton minyak goreng dari sebagian daerah di Pulau Kalimantan. PT GSPG pun berkembang. Kini perusahaan ini memiliki cabang di Surabaya. Di Samarinda, perusahaan itu mengumpulkan minyak goreng bekas di seluruh wilayah Indonesia bagian timur. Sementara di Surabaya, PT GSPG menghimpun minyak goreng di Indonesia bagian barat. “Kalau di Surabaya, kadang kami bisa kumpulkan 20 ton sampai 40 ton per bulan. Jadi setiap bulan kami bisa ekspor 100 ton sampai 150 ton,” beber Puput. Perusahaan membeli minyak goreng dari penjual dengan harga Rp 2,5 juta sampai Rp 6 juta per ton. Harga beli tergantung latar belakang penjual. Jika minyak goreng yang dijual jumlahnya banyak, maka dibeli dengan harga Rp 4.000 per liter. Sementara di segmen rumah tangga, dibeli seharga Rp 2.500 per liter. Di Samarinda, minyak goreng bekas dibeli dari warung-warung, ibu rumah tangga, katering, perusahaan tambang, dan restoran. “Belum ada orang lain yang nyetok di Kalimantan. Cuma kita satu-satunya. Yang langsung ekspor ke luar negeri cuma kita aja,” jelasnya. PT GSPG mengekspor minyak goreng bekas ke Belanda dan Britania Raya. Serah terima barang dengan pengekspor dilakukan di pelabuhan tujuan. Karena itu, Puput tidak pernah bertemu langsung dengan pembeli. “Tapi jual belinya lancar. Alhamdulillah tidak pernah ada masalah. Modalnya yang penting kita enggak pernah bohongi orang. Kalau kita enggak pernah bohongi orang, ya enggak dapat karmanya,” ucap dia. Namun kehati-hatian tetap diutamakan. Puput memanfaatkan jasa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di negara tujuan ekspor. Di KBRI, dia menanyakan dan mengecek latar belakang pembeli. “Saya memulai ekspor dari nol. Enggak bisa bahasa Inggris. Cuma lulusan SMK, pengetahuan sedikit, modal sedikit, dan tidak punya banyak pengalaman. Tapi karena ada kemauan, pasti ada jalan,” katanya. PT GSPG menjual minyak goreng bekas ke pabrik biodiesel. Pembeli mengolah dan menjual minyak goreng itu di sejumlah SPBU di Belanda dan Britania Raya. Dua negara tersebut sedang gencar beralih ke energi yang dapat diperbaharui. Puput meyakini usaha minyak goreng bekas akan terus berkembang. Terlebih energi fosil akan ditinggalkan. Ketersediaannya pun semakin menipis. Negara-negara di dunia terus mencari solusi untuk menggantikan energi fosil. Buktinya, selama tiga tahun menyelami usaha tersebut, dia menerima omset miliaran rupiah per bulan. “Cukuplah untuk gaji karyawan. Kalau dulu, enggak sebesar sekarang omsetnya,” sebut dia. Namun usaha di bidang ini bukan tanpa tantangan dan hambatan. Puput menyebut masih banyak orang yang membuang minyak goreng bekas. Tantangan lain, pengiriman ke negara tujuan memakan waktu lama. “Kemudian kendala infrastruktur. Itu yang bikin biaya operasional kita tinggi. Misalnya kita pengen ngambil di Sulawesi. Enggak bisa. Kapal yang ke sana hanya segelintir dan biaya kirimnya mahal,” jelas Puput. (qn/eny)

Tags :
Kategori :

Terkait