Saya baru sekali ini menginjakkan kaki di KBRI di Singapura. Aulanya, di lantai bawah, nyaman dan lapang. Kesannya seperti setengah terbuka. Plafonnya tinggi. Layar elektroniknya lebar dan gagah.
"Kami merenovasi ini saat Covid," ujar Pak dubes. "Dulu aula ini memang terasa kurang terang," katanya.
Pak dubes juga mengajak kami ke bagian layanan umum, terutama layanan paspor. Lapang. Luas. Serba elektronik. Orang berurusan langsung hanya sekitar 5 menit. Umumnya untuk perpanjangan paspor.
Di ruang ini ada foto besar persawahan di kaki gunung Merapi-Merbabu. Teduh dan indah. Lalu ada banner Pak Jokowi lagi swafoto. Kesannya Pak Jokowi sedang selfie di sawah dengan latar belakang gunung kembar.
Rumah duta besar dan pejabat tinggi lainnya ada di samping gedung kedubes. Lokasinya memang luas: 3,5 hektare. Di kawasan elite Singapura pula.
Malamnya mereka kembali ke Batam dengan ferry terakhir. Mereka tidak bermalam di Singapura.
Saya tidak ikut pulang ke Batam. Saya mampir ke Stadion Nasional Singapura: untuk belajar kecewa. Dua kekecewaan sekaligus. Liverpool kalah. Pemain barunya, dua-duanya, tidak istimewa. Atau belum. Ini seperti tim Persebaya sekarang ini, yang ternyata belum mencerminkan tim calon juara.
Kekecewaan malam itu lebih lengkap karena tidak bisa mendapat mobil untuk kembali ke hotel. Maka saya putuskan: jalan kaki. Jalan cepat. Delapan kilometer. Jam 23.30 baru tiba di hotel.
Untungnya saya kebagian kaus ''Wartawan itu masuk surga''. Dan saya mau. (Dahlan Iskan)