Tentara Menulis

Kamis 27-07-2023,00:18 WIB
Reporter : Devi Alamsyah
Editor : Devi Alamsyah

Saya latihan menembak dan tentara latihan menulis. Saya diberi Pangdam /Brawijaya Mayjen Farid Makruf 10 peluru. Tidak ada yang mengenai sasaran pun lingkarannya.

"Menulis itu mestinya tidak sulit. Yang sulit itu memulainya," ujar seorang jenderal bintang dua Selasa kemarin. Hari itu staf ahli Mabes TNI-AD mengadakan rapat koordinasi. Lebih 100 perwira hadir. Mulai kolonel sampai bintang tiga. Tempatnya di aula Mabes dekat Monas itu. Aula yang masih terlihat baru. Modern, nyaman dan bersih. Ketika memandang keluar terlihat pagarnya juga baru, dengan ornamen seni dinamis yang masa kini.

Salah satu acara rakor itu: belajar menulis. Saya yang diminta jadi pembicara. Moderatornya Brigjen J.O. Sembiring.

"Tentara itu dilatih menembak. Tidak dilatih menulis. Sebaliknya saya. Jadi, kalau tentara tidak bisa menulis itu normal. Tenang saja," kata saya.

Bedanya, tidak ada perlunya bagi saya untuk terus berlatih menembak. Untuk apa. Tapi tentara perlu belajar menulis. Banyak sekali gunanya. Terutama bagi para jenderal yang sangat kaya pengalaman: bagaimana mengatasi tekanan mental bertugas di posisi kritis dan sulit. Juga kaya ilmu kepemimpinan. Memimpin wartawan sulit, apalagi memimpin tentara.

"Tapi bagaimana cara memulai menulis? Kata apa yang pertama ditulis?"

Menulis memang berbeda dengan menembak. Menembak ada tutorialnya. Pelatih akan mengajari urutan gerakannya. Kecuali sudah sampai tahap mahir. Yakni kalau pelajaran menembak itu sudah sampai tahap ''makrifat'': memadukan feeling, intuisi dan gerakan jari yang ada di pelatuk senjata: dor! Pasti kena.

Menulis tidak ada tutorialnya. Lalu bagaimana? Tidak sulit. Saya pun bertanya kepada peserta rakor. Tidak ada yang tidak bisa naik sepeda kan? "Tapi apakah ada yang pernah ikut seminar cara-cara naik sepeda?"

"Tidak ada," jawab mereka.

"Ada yang pernah ikut kursus cara naik sepeda?"

"Tidak ada".

Ya sudah. Yang penting semua masih ingat bagaimana awalnya, kok bisa naik sepeda. Pasti mencoba dan mencoba. Lalu jatuh. Coba lagi. Jatuh lagi. Coba lagi. Lalu bisa.

Begitulah menulis.

Harus dicoba. Jelek tidak apa-apa. Anggap saja itu lagi jatuh waktu latihan naik sepeda.

Maka saya teruskan dengan topik: lima musuh utama menulis. Mungkin Anda bisa tambahkan menjadi 10 atau 15.

Musuh pertama: terlalu banyak yang ingin ditulis. Semua hal mau dimasukkan dalam tulisan. Akhirnya tidak mulai-mulai. Tulisan pun jadi tidak fokus.

Tags :
Kategori :

Terkait