Zaytun Sinagog

Jumat 21-07-2023,08:09 WIB
Reporter : Devi Alamsyah
Editor : Devi Alamsyah

"Gedung apa ini?"

"Kita masuk saja. Lihat sendiri", katanya.

Ternyata isi gedung itu mesin-mesin pengolah air. Masih baru. Belum beroperasi. Di ''sinagog'' inilah, menurut rencana, akan diproduksi air minum Al Zaytun. Menambah kapasitas produksi air minum di tempat yang lama.

"Lalu di mana gedung yang di medsos dibilang tempat pembuatan senjata itu?" tanya saya.

Saya pun dibawa ke sana. Terlihat tabung-tabung gas untuk las baja. Terlihat juga mesin-mesin bubut. Besi berserakan. Ada plang kecil bertulisan Al Abasyiah di bagian depan. Inilah bengkel pembuatan perabot sekolah. Atau bengkel untuk menyiapkan rangkaian baja bagi semua proyek di sana.

Al Zaytun memang punya prinsip tidak keberatan kalau ada yang membangun sinagog di lokasinya. "Tapi untuk apa membangun sinagog kalau tidak ada yang sembahyang Yahudi di sini?" ujar Halim.

Pun gereja. Tidak akan keberatan kalau di situ dibangun gereja. Tapi untuk apa. Tidak ada yang Kristen di sini.

Lalu saya diantar ke kantor Panji Gumilang. Lokasinya di mezzanine masjid baru. Syekh Panji lagi berbincang dengan rombongan  Pendeta Tjahjadi Nugroho dari gereja Gereja Jemaat Allah Global Indonesia (JAGI).

Ruang tamunya besar. Berisi 18 sofa. Semua sofa tunggal. Syekh Panji duduk di sofa di ujung tengah.

Mereka bicara soal toleransi. Syekh Panji terlihat tidak setuju dengan istilah toleransi beragama. Dalam membahas toleransi jangan bicara agama. "Bisa bertengkar," katanya. Lebih baik bicara kerukunan tanpa menyinggung soal agama.

Mereka juga membahas soal lagu Indonesia Raya yang utuh. Yang tiga stanza. Di situ disebutkan Indonesia itu ''tanah mulia'', ''tanah suci'', dan ''tanah berseri''. Lengkap.

Dalam sejarah keagamaan tanah  mulia itu Makkah dan Madinah. Tanah suci itu Jerusalem, Makkah, dan Madinah.

Tapi kita juga perlu tanah berseri. Itulah Indonesia. Mulia, suci, berseri, lengkap ada di Indonesia. Kurang apa lagi untuk tidak ingin mati di Indonesia.

Panji terlihat tetap semangat berbicara soal toleransi. Sesekali ia tampak bicara sambil berdiri. Ia pakai baju lengan panjang. Berdasi. Sesekali mengutip filsafat Jawa. Lengkap dengan tembangnya. Ia lagukan pula. Merdu. Sesekali pula Syekh Panji mengutip ayat Quran. Atau Taurat.

"Sejak kapan pakai dasi?"

“Sejak sekolah di Gontor, Ponorogo," katanya. Ia terus pakai dasi, sering juga lengkap dengan jas. Sampai tua di Gantar, di Indramayu ini.

Tags :
Kategori :

Terkait