Samarinda, nomorsatukaltim.com – Tidak hanya penyandang disabilitas dewasa saja yang mempunyai hak atas kebutuhan dasarnya. Anak-anak penyandang disabilitas juga berhak mendapatkannya. Terutama, pendidikan. Anak-anak penyandang disabilitas bisa menutut ilmunya seperti halnya anak pada umumnya.
Secara umum, anak penyandang disabilitas belajar hanya di Sekolah Luar Biasa (SLB). Padahal, mereka bisa belajar di sekolah negeri atau yang disebut sekolah inklusi.
Di Samarinda sendiri, terdapat 118 institusi pendidikan. Dari tingkat TK, SD, dan SMP. Namun, memang banyaknya tantangan sendiri di sektor sekolah inklusi ini. Hal ini sesuai ada di Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Menurut keterangan Ketua DPD Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPID) Kaltim Ani Juhairiyah, masih banyak tenaga pendidik di sekolah inklusi yang masih kurang memahami memperlakukan anak penyandang disabilitas. Hal ini karena tenaga pendidik tidak memiliki cukup ilmu akan pengajaran kepada penyandang disabilitas.
"Bahkan ada guru yang menyatakan takut atau salah mengajar. Tapi juga tidak tega kalau anak disabilitas tidak diberi pendidikan. Di sini pemerintah harus datang. Tidak bisa diam saja," kritik Ani Hotel Mercure pada Selasa 14 Desember 2021.
Bahkan, lanjut Ani, ada pula sekolah yang padahal termasuk dalam sekolah inklusi tidak mengetahui sekolahnya adalah sekolah inklusi. Ini menjadi persoalan krusial bagi Ani, karena banyak sekali penyandang disabilitas di Kaltim yang tidak pernah mengenyam kursi sekolah.
"Sebab persoalan kami memang urusan pendidikan. Hampir 50 persen penyandang disabilitas di Kaltim ini tidak bersekolah. Ini berat sekali," tegasnya.
Dikonfirmasi pada Rabu 15 Desember 2021, Plt Kepala UPT Pusat Layanan Autisme (PLA) Samarinda Muhammad Ghofur yang juga membidangi penyandang disabilitas menjelaskan bahwa PLA telah melakukan sosialisasi dan pelatihan terkait sekolah inklusi ini. Di mana anak penyandang disabilitas pasti didampingi guru pendamping khusus (BPK).
Namun, masalah justru kerap hadir dari orang tua. Ghofur mengakui, banyak orang tua yang gengsi atau malu menyekolahkan anak disabilitas ke sekolah inklusi. Banyak orang tua yang menganggap anaknya ‘normal’. Contohnya saja, ketika penerimaan peserta didik baru (PPDB).
“Anak berkebutuhan khusus atau disabilitas, sudah disiapkan PPDBK (khusus) yang dibuka sebelum PPDB online. Karena proses penerimaannya harus melalui asesmen dulu. PLA punya tim asesmen untuk mendampingi, yaitu 6 psikolog dan 1 orang dokter.”
“Orang tua tidak mau masuk melalui PPPDBK, dia masuknya di PPDB online. Ini yang membuat kepala sekolah akhirnya kewalahan, kecolongan. Ini yang menjadi masalah kita sampai saat ini,” beber Ghofur.
UPT PLA memiliki rencana untuk membuatkan ruang inklusi di tiap sekolah. Sehingga, murid disabilitas ataupun kebutuhan khusus bisa mempunyai ruang atau wadah aduan apabila terjadi masalah selama pembelajaran maupun sosialnya. Namun, sayangnya dana belum mencukupi untuk merealisasikan hal tersebut.
Tetapi, Ghofur memberikan harapan besar kepada orang tua anak penyandang disabilitas. Yaitu, terima adanya lah keadaan anak sendiri dan berani untuk konsultasi kepada PLA.
”Kita membuka diri dan akan mendampingi orang tua dan anak penyandang disabilitas ataupun autisme,” pintanya. (DSH/AVA)