Menyusuri Jalan Muara Badak-Marangkayu, Membelah Pesisir Utara Kukar

Selasa 14-12-2021,08:00 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Perjalanan Samarinda – Sangatta normalnya ditempuh dalam 4 jam ketika menggunakan roda dua. Namun kali ini perjalanan sedikit agak lama, waktu tempuh mencapai 330 menit. Memilih jalan alternatif via pesisir jadi alasan utama. Oleh: HAFIDZ PRASETIYO (Jurnalis Disway Kaltim - Nomorsatukaltim.com) nomorsatukaltim.com - Lepas jalan rusak di Tanah Datar, spontan saya membelokkan kemudi stang kuda pacu ke kanan. Mengambil jalan menuju pusat Kecamatan Muara Badak, Kutai Kartanegara (Kukar). Katanya lewat jalan ini bisa lebih nyaman hingga tembus ke Bontang. Saya pun ingin membuktikannya. Dari pertigaan Desa Tanah Datar hingga ke pusat Kecamatan di Desa Muara Badak Ulu saya masih familier dengan kondisi jalannya. Nyaris tak ada perubahan berarti, kondisi jalan masih cukup nyaman dilalui. Begitu pula di Desa Tanjung Limau. Wajar Pantai Pangempang ada di wilayah ini, jadi kondisi jalan mulus masih terawat sejak akhir 2019 lalu saya terakhir melintas di sana. Jalan beton bergantian dengan jalan aspal menghiasi. Kondisinya cukup nyaman dilintasi, walau masih ada beberapa titik badan jalan bergelombang. Namun tidak jadi soal saat berkendara melintasinya. Baca juga: Jalan Rusak di Muara Badak Kukar Rusak, Warga Patungan Perbaiki Sendiri Selepas itu langsung masuk Desa Sebuntal, Kecamatan Marangkayu. Saya benar-benar baru sekali melewati jalan ini. Tak jauh beda dengan Desa Tanjung Limau, pemukiman warga berada di sisi kiri jalan. Sementara sebelah kanan dihiasi hamparan tambak dan kebun kelapa. Jalannya hasil semenisasi dilapis aspal. Saya memilih tarikan gas langsam. Seolah tak ingin menyia-nyiakan melihat keadaan desa tersebut. Selanjutnya, jalanan membawa saya menjauh dari pesisir pantai. Rupanya masuk ke pusat Kecamatan Marangkayu, namun masih berada di wilayah Desa Sebuntal. Saya memilih satu warung kecil untuk beristirahat sebentar. Sembari mengisi perut yang tidak saya sadari sudah kosong. Ilham (58) adalah pemilik warung tersebut. Pendatang dari Pulau Sulawesi sejak 1997 silam. Menurutnya Muara Badak – Bontang sudah tembus ada sejak 2004 lalu. “Hanya saja dulu jalannya masih tanah. Belum banyak pemukiman penduduk,” tuturnya dikutip dari Harian Disway Kaltim - Disway News Network (DNN). Jembatan yang ada juga kebanyakan masih terbuat dari kayu yang dibangun oleh warga. Sehingga memang tidak layak untuk dilintasi. Peningkatan jalan pun dilakukan bertahap dengan memakai dana desa, pembiayaan pemerintah maupun bantuan perusahaan. “Kini sudah ramai orang lewat di sini,” imbuhnya. Ia juga menceritakan bagaimana perkembangan penduduk di Marangkayu dan Muara Badak. Dulunya kebanyakan warga dari Sulawesi, kini suku Jawa dan Nusa Tenggara juga ada. Usai itu saya melanjutkan perjalanan dan masuk Desa Semangko. Pusat desa sepertinya berada jauh dari pesisir. Ada hamparan sawah yang cukup luas pada jalanan beraspal mulus dan lurus. Persis sama seperti di wilayah pedesaan di Pulau Jawa. Mata saya benar-benar dibuat tak bisa berpaling melihat hamparan padi hijau yang melintang. Pilihannya adalah berhenti dan mengambil beberapa foto hingga puas. Setelah itu, jalanan kembali mengarah ke pesisir pantai. Tepatnya di perbatasan Desa Semangko dan Desa Kersik. Pemandangan kini berganti petak-petak tambak dan hutan nipah. Kondisi jalan di desa ini berbeda. Banyak semenisasi tak sempurna, sehingga badan jalan bergelombang. Ada pula jembatan yang sedang mengalami perbaikan. Satu jembatan besar dengan lebar sekitar 6 meter bahkan perlu perbaikan serius. Bentang tengah jembatan itu tergerus, hingga tulang beton terlihat. Pada titik lain ada jalan yang bisa dikatakan rusak parah. Sebenarnya jalan tersebut hasil semenisasi, hanya saja sepanjang 600 meter cetakan semen banyak yang patah. Lepas dari jalan rusak itu, langsung masuk Desa Santan Ilir yang kondisinya tak jauh berbeda dengan Desa Kersik. Kondisi jalan lebih bagus dan cukup mulus untuk dilintasi. Jika dilihat dari pemukiman yang ada, desa ini sedikit lebih sepi. Tak berapa lama, saya bertemu perlintasan konveyor tambang batu bara milik PT Indominco. Kendaraan warga harus melintas terowongan di bawah dan kemudian ambil jalan lurus untuk masuk ke Kota Bontang. Jalan lebar beraspal di kedua jalur menandakan saya sudah masuk wilayah Kota Taman. Memang masih ada jalan berlubang di beberapa titik, tapi bisa dihindari dengan leluasa. Hingga akhirnya sampai di pusat kota, untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Sangatta. Pertimbangan tak perlu lagi khawatir menabrak lubang yang berada di puncak tanjakan. Kampas rem yang bekerja lebih ringan, buka tutup gas hanya dilakukan seperlunya. Kaca helm pun lebih banyak terbuka mengingat jarang kendaraan besar yang meninggalkan debu. Menurut saya, jalan alternatif tersebut lebih nyaman dilintasi. Perkara jarak tempuh bertambah 24 kilometer, jika dilihat dari Google Maps, saya rasa tak jadi soal. Sebab perjalanan bisa ditempuh lebih santai. BCT/ZUL

Tags :
Kategori :

Terkait