Samarinda, nomorsatukaltim.com – Sekelompok dosen yang mengatasnamakan Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law menentang pernyataan Presiden Joko Widodo terhadap hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja. Yang disampaikan presiden melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden pada 29 November 2021 lalu.
Dalam pernyataannya, Jokowi menyatakan menerima keputusan MK dan akan menindaklanjuti untuk merevisi UU Cipta Kerja. Selama 2 tahun proses revisi, UU Cipta Kerja beserta turunannya masih berlaku.
Pernyataan Jokowi ini memberikan reaksi dari Aliansi Akademisi Tolak Omnibus Law. Perwakilan aliansi, Dhia Al Uyun, menyatakan pemerintah tidak konsisten dalam membuat pernyataan.
"Pemerintah mengatakan menghormati keputusan MK tapi kenyataannya putusan MK tidak dilaksanakan. Padahal itu jelas. Pembuat UU tidak boleh melakukan jalan pintas."
"Sekarang kondisinya Presiden dan DPR belum memperbaiki, (jadi) tidak bisa menyatakan UU Cipta Kerja itu berlaku," Kata Dhia.
Menurut Dhia, putusan MK ini dinyatakan bahwa UU Cipta Kerja ini inkonstitusional selama belum ada perbaikan dari pembuat Undang-Undang.
Selain kecewa dengan pernyataan presiden, Dhia juga sedikit kecewa atas hasil putusan MK yang hanya menangguhkan UU Omnibuslaw. Karena menurutnya, Omnibuslaw ini harusnya dicabut saja!
Hal ini, menurutnya, karena secara materiil dan formil, UU Cipta Kerja adalah UU yang buruk. Banyak kesalahan yang mudah ditemukan di dalam UU ini. Apalagi, UU ini malah lebih memberikan dampak kemudahan untuk pengusaha, bukan membela hak masyarakat. Seperti misalnya dalam formula penentuan upah minimum.
"Tapi sepertinya putusan MK lebih banyak berwarna kompromis.Tapi di luar putusan MK, jelas disebutkan bahwa menangguhkan cipta kerja," jelas Dhia.
UU Omnibuslaw ditangguhkan pun, lanjut Dhia, secara otomatis aturan turunannya juga tidak bisa berlaku. Jadi aneh apabila hal kebalikannya terjadi.
Apalagi Peraturan Pemerintah (PP) turunan ini disahkan di luar waktu yang ditunjuk sesuai UU Nomor 12 Tahun 2011, yaitu melebihi 6 bulan. Artinya, PP-nya juga melanggar.
Selama demo penolakan UU ini sendiri, memang banyak aktivis yang dipenjara. Dhia meminta pula agar aktivis demo ini dibebaskan karena UU ini telah ditangguhkan.
"Artinya obyek dari segala bentuk gugatan dan tuntunan adalah UU Omnibus Law. Secara otomatis tidak ada akibat hukumnya," ujarnya.
Apabila dalam 2 tahun ini pemerintah gagal dalam merevisi UU Cipta Kerja, artinya UU Cipta Kerja tidak berlaku lagi. Skenario yang ada adalah pemerintah bisa mengeluarkan UU Omnibuslaw versi kedua.
Dhia mengakui, skenario tersebut bisa terjadi. Tetapi pasti tidak bisa dilakukan secara cepat, apalagi dalam jangka waktu 2 tahun. Secara logis, itu tidak mungkin.