KITA semua, masyarakat Indonesia, memiliki harapan kolektif agar ketahanan pangan, bahkan kedaulatan pangan, bisa terwujud di negeri ini. Namun berbagai tantangan masih panjang membentang, termasuk di Bumi Etam.
Satu di antara permasalahan krusial adalah alih fungsi lahan pertanian pangan menjadi pertambangan batu bara, perkebunan sawit, atau permukiman. Data tim akademisi Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman (Januari 2021), lahan pertanian di Kaltim hanya tersisa 38.000 Ha.
Penyempitan terus terjadi. Di Kutai Kartanegara, lahan sawah menyusut dari 17.000 Ha menjadi 6.000 Ha. Di Kelurahan Lempake, Samarinda, menyusut dari 8.800 Ha menjadi 800 Ha. Adapun potensi lahan sawah di Kabupaten PPU sebesar 16.000 Ha, namun yang bisa digarap hanya 8.000 Ha.
Pemprov Kaltim telah mengesahkan Perda Nomor 1 tahun 2013 tentang tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B), yang diperbarui tahun 2016. Namun regulasi itu belum bisa diberlakukan secara maksimal. Keterbatasan lahan pun membuat Kaltim batal ditetapkan menjadi lumbung pangan nasional tahun 2018.
Saya mengapresiasi diberlakukannya Perda PLP2B di Kabupaten Paser tanggal 15 April 2021 dan di Kota Samarinda tanggal 27 Oktober 2021. Dengan perda tersebut, ada “komitmen resmi” untuk melindungi ribuan hektar lahan pertanian. Demikian pula Kukar yang telah memiliki Perda PLP2B sejak tahun 2012.
Komitmen pemerintahan daerah, khususnya kepala daerah, sangatlah penting. Merekalah aktor kunci yang bisa mengantisipasi alih fungsi lahan pertanian.
Pada sisi lain, dibutuhkan kesungguhan mewujudkan kesejahteraan bagi petani. Sehingga mereka tidak tergiur mengalihfungsikan lahannya.
Tanpa kesejahteraan, tekad mempertahankan lahan seolah menjadi utopia. Kesejahteraan pun bukan melulu soal berapa rupiah pendapatan para petani setelah menjual hasil panennya, namun juga kesungguhan memfasilitasi para petani dalam menggarap sektor pangan.
Perhatikan kebutuhan riil mereka; mulai dari irigasi yang lancar, jalan usaha tani, alat mesin pertanian yang tepat guna, pasokan pupuk yang memadai, dukungan penyuluh, hingga mengatasi problem kesenjangan harga antara tengkulak dan petani.
Peralihan lahan untuk tambang maupun kebun sawit terkesan sangat mudah. Pasalnya, petani maupun pemilik lahan tak lagi bisa mengandalkan hasil pertanian mereka. Contohnya, 8.000 Ha lahan yang direncanakan untuk irigasi di Separi, sekarang beralih fungsi menjadi lahan tambang. Ada pula persoalan lahan tidur karena nutrisi tanah yang tak lagi subur.
Faktor eksternal juga mempengaruhi. Secara faktual, masih ditemukan banyak perusahaan tambang yang tidak melakukan reklamasi dan reboisasi lahan pasca tambang, sehingga lahan tak dapat dimanfaatkan kembali, terutama untuk pertanian. Perlu biaya sangat besar melakukan kapurisasi.
Banyak pula lahan yang tidak produktif selama bertahun-tahun, namun tidak bisa digunakan dan dimanfaatkan oleh petani karena lahan tersebut masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU) atau konsensi pertambangan. Perlu upaya serius memanfaatkan lahan potensial yang tersedia.
Urusan pangan merupakan urusan yang vital, penting, dan mendesak bagi daerah. Kaltim harus serius berbenah. Ketergantungan terhadap hasil pertanian dari luar wilayah Kaltim masih tinggi. Jika suatu saat mereka tak bisa memasok lagi, bagaimana ke depan pertanian Kaltim bisa menunjang Ibu Kota Negara?
Saya, melalui Komite II DPD RI, mendorong Kementerian Pertanian membuat program-program pertanian yang spesifik wilayah. Dalam hal penataan ruang, pusat dan pemda harus menertibkan IUP dan HGU di wilayah pertanian. Harus ada ketegasan dalam pemanfaatan wilayah agar tidak terjadi tumpang tindih lahan dan tidak merugikan sektor-sektor lain. (ava)