Pidato kenegaraan Presiden pada tanggal 16 Agustus 2021 dalam sidang paripurna tahunan MPR-RI, menuai banyak kritikan. Banyak kalangan yang beranggapan jika pidato kenegaraan tersebut, tidak secara komprehensif mengurai dinamika dan problematik bangsa kita selama satu tahun belakangan ini.
Oleh: Herdiansyah Hamzah, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
PIDATO kenegaraan ini sendiri merupakan “konvensi ketatanegaraan” yang menjadi kebiasaan sejak lama[1]. Tidak ada aturan tertulis mengenai pidato kenegaraan ini. Apalagi dalam sistem presidensial yang kita anut hari ini, Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR. Namun karena praktIk pidato kenegaraan ini sudah dilakukan sejak lama, maka telah menjadi kebiasaan yang bisa kita sebut sebagai bagian dari konvensi ketatanegaraan.
Karena itu, pidato kenegaraan telah menjadi rutinitas tahunan yang menjadi kebiasaan negara kita, yang lazimnya akan dilanjutkan dengan pidato pengantar Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan nota keuangan untuk tahun berikutnya.
Inkonsisten
Dalam pidato kenegaraan tahun 2021 ini, Presiden memang terkesan hanya fokus kepada isu pandemi COVID-19 dan aspek kesehatan warga negara. Bahkan dalam pidato kenegaraan tersebut, Presiden menyebut kata “pandemi” sebanyak 31 kali, kata “COVID-19” sebanyak 9 kali, dan kata “Kesehatan” sebanyak 19 kali[2].
Pilihan diksi yang disebutkan secara berulang-ulang ini, menggambarkan bagaimana agenda prioritas pemerintahan yang akan dijalankan. Namun demikian, sebagai agenda prioritas, rasanya urusan kesehatan dan penanganan pandemi COVID-19 justru tidak mendapatkan prioritas dalam hal anggaran. Dalam buku nota keuangan RAPBN 2022 anggaran untuk Kementerian Kesehatan sebagai leading sector penanganan pandemi COVID-19, justru menurun. Alokasi anggaran untuk Kementerian Kesehatan hanya sebesar Rp 96,1 triliun, atau turun Rp 45,5 persen dibanding APBN 2021 yang berjumlah Rp 176 triliun[3].
Hal yang sama juga terjadi di sektor perlindungan sosial melalui Kementerian Sosial. Anggaran Kementerian hanya sebesar Rp 78,3 triliun, atau mengalami penurunan 26 persen bila dibangkan outlook di tahun ini yang mencapai 106 triliun[4].
Yang menjadi pertanyaan besar bagi publik adalah, bagaimana mungkin Presiden disebut memiliki prioritas terhadap sektor kesehatan dan penanganan pandemi COVID-19, jika justru rencana alokasi anggaran untuk Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial untuk tahun 2022, justru mengalami penurunan?
Anehnya, alokasi anggaran untuk Kementerian Pertahanan dalam RAPBN 2022, justru mengalami kenaikan signifikan mencapai 13 persen, yang sebelumnya Rp 118,19 triliun dalam APBN 2021 menjadi Rp 133,92 triliun[5]. Padahal Kementerian Pertahanan sendiri, tidak memiliki korelasi secara langsung dalam upaya penanganan pandemi COVID-19.
Selain itu, pidato kenegaraan Presiden juga seperti “cherry picking” yang cenderung hanya menyajikan potongan fakta yang menguntungkan selera subjektifnya saja, tanpa menguraikannya secara utuh. Sebagai contoh, Presiden memang menyebut BPK, MA, MK, dan KY, dalam pidato kenegaraannya. Namun Presiden hanya menyinggung kecepatan respon penanangan perkara dengan sistem peradilan berbasis elektronik.
Presiden sama sekali tidak menyinggung soal obral diskon hukuman bagi para koruptor yang marak belakangan ini. Bahkan menurut ICW, dalam kurun waktu 2019-2020 sebanyak 134 terdakwa korupsi dibebaskan ataupun dipangkas hukumannya oleh pengadilan[6]. Sedangkan untuk periode Januari-Juli 2021 ini, setidaknya terdapat lebih dari 10 terdakwa korupsi yang hukumannya dipangkas, baik di tingkat Pengadilan Tinggi maupun di MA[7].
Pidato Kosong
Dalam pidato kenegaraan ini, terdapat banyak isu yang “kosong” atau sama sekali tidak dibahas oleh Presiden. Berikut saya uraikan beberapa di antaranya. Pertama, pidato Presiden kosong dengan isu korupsi. Dalam pidato kenegaraan ini, Presiden hanya menyebut kata “korupsi” untuk mengucapkan rasa terima kasih atas dukungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini.
Namun Presiden justru abai dengan apa yang terjadi dengan KPK. Operasi pelumpuhan KPK, baik dari luar maupun dari dalam, luput dari prioritas Presiden. Padahal kita semua paham, yang selama ini KPK adalah simbol perlawanan publik terhadap korupsi.
Penyingkiran orang-orang baik dengan dalih Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), keberatan pimpinan KPK terhadap hasil pemeriksaan Ombudsman, hingga temuan KomnasHAM terkait pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK, seolah bukan hal yang urgen di mata Presiden. Bahkan penururan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia sebanyak 3 poin, dari skor 40 menjadi 37 pada tahun 2020, juga tidak mendapat respons sama sekali dari Presiden.
Kedua, pidato Presiden kosong dengan isu HAM. Tidak ada satu kalimat pun yang berkaitan dengan isu penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM. Ini membuktikan kalau pemerintahan hari ini memang tidak memiliki prioritas sama sekali terhadap isu HAM.