SD Inpres: Sepatu Soeharto dan Nobel Duflo (4 – Habis)

Selasa 22-10-2019,23:34 WIB
Reporter : Devi Alamsyah
Editor : Devi Alamsyah

SD Inpres sudah hampir punah. Di beberapa daerah di luar Kaltim dan terpencil mungkin masih ada. (Istimewa/int)

==========

Proyek besar orde baru bernama SD Inpres, tidak luput dari masalah mendasar. Antara lain, sulitnya mencari guru yang mau ditempatkan di daerah terpencil.

Masalah selanjutnya, kualitas guru yang belum optimal. Kebanyakan para guru tamatan SPG atau Sekolah Pendidikan Guru. Kualifikasinya masih kalah dalam hal kapasitas, bila dibanding lulusan IKIP.

Di sisi lain, banyak lulusan IKIP enggan mengajar di SD Inpres. Alasannya gaji yang kala itu dianggap belum memadai. Dan akses daerah terpencil yang masih sulit dijangkau. Mereka enggan menerima tawaran menjadi pendidik di SD Inpres.

Kendati demikian, kebijakan SD Inpres bisa bertahan selama beberapa dekade. Bahkan, tahun 1984 dengan program SD Inpresnya, Soeharto mendapat penghargaan Avicienna Award dari UNESCO. Kala itu, tak banyak negara yang mendapat penghargaan tersebut.

Penghargaan sama diraih kembali pada tahun 1993. Karena dinilai berhasil memberi kesempatan belajar pada jutaan anak negeri, Presiden Soeharto memperoleh penghargaan Avicenna Award dari UNESCO.

Avicenna Medals ini memiliki peringkat tertinggi bagi UNESCO. Salah satu keberhasilan SD Inpres menyabet penghargaan itu karena dinilai mampu menekan angka buta huruf.

Baca Juga:

SD Inpres Riwayatmu Kini

Menurut data Sensus 1971, dari jumlah penduduk 80 juta jiwa, Indonesia masih memiliki 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang berstatus buta huruf.

Data Sensus 1980, menunjukkan prosentase itu menurun menjadi 28,8 persen. Hingga sensus tahun 1990, angka buta huruf terus ditekan hingga hanya sekitar 15,9 persen.

Presiden Soeharto dalam pengembangan pendidikan dinilai berhasil mengangkat harkat anak-anak Indonesia. Tercatat, anak usia 6 sampai dengan 12 tahun di negeri ini, yang menikmati pendidikan mencapai 97 persen.

Medio Oktober tahun 2019, Ekonom AS, Esther Duflo, berhasil meraih Penghargaan Nobel. Nobel Economics Prize dari Royal Swedish Academy of Sciences, diraihnya pada Senin (14/10/2019).

Keberhasilan Duflo menyabet penghargaan bergengsi itu. Lantaran meneliti salah satu kebijakan Soeharto. Yakni kebijakan orba yang dituang dalam Inpres 10/1973 terkait pembangunan SD Inpres di Indonesia!

Perempuan berusia 46 tahun ini adalah tokoh termuda yang memenangkan Nobel selama 50 tahun terakhir dan merupakan perempuan pertama.

Ia menggunakan variasi sekolah yang dihasilkan oleh SD Inpres sebagai variabel instrumental. Ke dampak pendidikan pada upah.

Duflo mendapat kesimpulan bahwa kebijakan ini sukses 'meningkatkan' ekonomi. Bahkan pengembalian ekonomi sekitar 6,8% hingga 10,6%.

Dalam abstraksinya ia menjelaskan penelitian ini berbasis realita lapangan yang terjadi di Indonesia. Sepanjang tahun 1973 hingga tahun 1978. Tercatat saat itu Indonesia membangun sekitar 61.000 SD Inpres. 

Duflo mengevaluasi efek dari program ini pada pendidikan dan upah. Ia menggabungkan perbedaan antar daerah dalam jumlah sekolah yang dibangun. Dengan perbedaan antar kelompok yang disebabkan waktu program.

Dalam risetnya, Duflo menunjukkan bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan perubahan signifikan khususnya dalam meningkatkan pendidikan dan pendapatan. Anak-anak usia 2 hingga 6 tahun di 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan. Untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.

Penelitian Duflo diterbitkan pada Agustus tahun 2000. Dengan judul 'Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence From an Unusual Policy Experiment atau 'Konsekuensi Sekolah dan Pasar Tenaga Kerja dari Pembangunan Sekolah di Indonesia: Bukti dari Eksperimen Kebijakan yang Tidak Biasa.'

Kebijakan SD Inpres buah tangan dari teknokrat Widjodjo Nitisastro. Sayang, meski menelurkan ide SD Inpres, begawa ekonom Indonesia ini tidak mendapat Nobel di bidang ekonomi. Tetapi justru Ekonom AS.

Lalu berapa data bangunan SD saat ini?

Sesuai data Kemendikbud yang diakses di laman resmi mereka, Senin (21/10/2019), menunjukan SD negeri di Indonesia untuk tahun ajaran 2018/2019 sebanyak 131,974 sekolah. Dengan daya tampung lebih dari 22 juta siswa.

Tapi data itu tidak merinci berapa SD Inpres, berapa SD Negeri. Mengenai kondisi bangunan, ada 930.825 ruang kelas di SD negeri. Dari jumlah itu, sebanyak 535,765 ruang kelas SD yang rusak ringan.

Untuk SD yang kondisinya baik sebanyak 221.104 ruang kelas. Sisanya, tercatat 75.558 ruang kelas SD rusak sedang, 58.342 ruang kelas yang rusak berat, dan 40.056 ruang kelas rusak total.

Mendikbud Muhadjir Effendy sempat menyatakan sekolah-sekolah yang rusak sebagian besar adalah peninggalan program SD dan SMP Inpres sekitar 30 tahun lalu. Standar yang dipakai adalah untuk pemberantasan buta huruf.

Ia mengungkap, sejak muncul kebijakan SD Inpres, standar pelayanan minimal pendidikan dasar belum berubah. Padahal tuntutan akan kualitas pendidikan dasar semakin tinggi. (rap)

*/Diracik dari pelbagai sumber.

Berita Terkait: SD Inpres : Sepatu Soeharto dan Nobel Duflo (1)

Tags :
Kategori :

Terkait