Jakarta, nomorsatukaltim.com - Negarawan Prancis, Charles de Gaulle berujar: "Sebenarnya para politikus tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya."
Warga negara tidak bisa disalahkan jika mereka makin muak pada tatanan politik yang makin memburuk, dan warga negara yang apatis hanya bisa bergerak ke arah bawah sadar, lalu oleh suatu momentum (mungkin) akan meledak dalam kemarahan massal. Itu adalah situasi di negara 'demokrasi lip service' dengan iklim politik yang memiliki efek "mematikan" ruang publik, alih-alih memberinya energi positif. Kita menyaksikan secara real time dari ketidakwarasan yang membuat publik kecewa.Dengan meningkatnya jumlah warga negara yang menjauhi parpol, hasilnya adalah kekosongan di mana orang tidak lagi tahu ke mana harus merujuk untuk nilai-nilai demokrasi yang vital seperti kebebasan, kemakmuran, dan hegemoni nasional.
Ketika masyarakat menjadi tidak percaya lagi pada apa yang dulu memberi mereka harapan dan janji, hasilnya adalah bahwa masyarakat merasa hampa. Karena para pelaku politik melakukan praktik-praktik terburuk perilaku manusia sambil pada saat yang sama mencari dukungan publik.
Tampaknya ketika satu pihak yang mengejar kekuasaan memanfaatkan cara gelap untuk mencapai tujuan mereka, hal itu pasti akan menyebabkan lawan politiknya mengambil tindakan serupa untuk bersaing. Namun begitu, standar tinggi demokrasi akhirnya dikompromikan dan cita-cita bangsa menjadi ternoda. Para elit politik memandang hal ini sebagai hal yang tak terhindarkan dengan pilihan: partai harus menjadi kuat atau binasa.
Tidak ada yang buta tentang kenyataan ini. Hingar bingar media sosial dan pengerahan buzzer memungkinkan terjadinya perang persenjataan retorika dan serangan politik di antara sesama warga sendiri.
Beririsan dengan media online tergelincir (atau menggelincirkan diri) dalam isu-isu yang memicu emosi. Isu pun silih berganti seperti gigitan nyamuk yang terasa sebentar lalu hilang. Sementara di lapis bawah masyarakat apatisme kian merayap.
Salah satu yang paling meresahkan dari fakta demokrasi babak belur ini adalah kepercayaan yang makin luntur dan mengikis harapan masa depan, terutama bagi generasi yang baru muncul. Demokrasi bekerja paling baik ketika semangat publik dipenuhi dengan optimisme dan perasaan bahwa masa depan anak-anak kita akan lebih baik daripada kita.
Dulu revolusi sebagai periode episodik kemarahan dalam sejarah, di mana cukup banyak kecemasan telah membangun amarah untuk menggulingkan sistem - politik dan ekonomi - untuk membawa perubahan. Dan kita sekarang memahami bahwa revolusi di era globalisasi modern juga dapat mengambil arah perubahan dengan jalannya sendiri.
Negara membutuhkan kepemimpinan kolaboratif baru jika ingin melalui tantangan ini bersama-sama. Demokrasi pada akhirnya adalah tentang kemampuan untuk bergaul demi kebaikan yang lebih besar.
Akankah penguasa dan para elit politik menyadari semua ini? Jika belum ada tanda-tanda ke arah itu, mungkin rakyat akan memilih jalannya sendiri. (*)
Sumber: Zamane